Sabtu, 27 Agustus 2011

Letakkan Sejenak Gelas di Tanganmu

Oleh : Made Teddy Artiana


Lelaki itu mengangkat gelas berisi air di tangannya. Mengambang di udara. Sementara, sekian banyak orang di hadapannya tampak mengisyaratkan ketidakmengertian. Para pendengar memilih untuk bersabar. Menunggu dalam diam. Tidak ada yang terjadi, selain gelas yang terangkat dan mata yang tertuju ke gelas itu. Namun, beberapa saat kemudian sesuatu mulai terjadi. Kepalan tangan laki-laki itu tampak semakin erat. Gelas dan air mulai bergetar. Perlahan tapi pasti, getarannya bertambah kuat. Urat tangan kian terlihat jelas bermunculan. Gelas itu berguncang hebat dan air yang mengisinya mulai tumpah. Hingga kemudian...tangan lelaki itu terkulai...prang!! Gelas lepas dari genggaman, dan berkeping-keping menumbuk lantai.

“Beban seringan apapun, jika terus-menerus dipegang, akan menjadi beban yang tidak sanggup kita tanggung”, ujar laki-laki bijak itu dengan tenang namun sangat serius. Stephen Covey, sang pencetus “Seven Habits” sedang ingin mengajarkan tentang sesuatu.

Jeffrey Rahmat, seorang pembicara dan pengajar dalam hal-hal praktis dan bisnis dari sudut rohani kristen, pernah berkata kepadaku. “Segala sesuatu mempunyai kapasitasnya sendiri-sendiri. Dan apapun, yang digunakan melewati kapasitasnya akan macet, tidak berjalan dan rusak”. Ia mengambil lift sebagai salah satu contoh. Dalam setiap lift tentu kita menjumpai sebuah petunjuk tentang seberapa “kuat” benda itu mampu mengangkat beban. Jika overweigth, maka dapat dipastikan ia tidak akan beroperasi, rusak bahkan bukan tidak mungkin, putus dan hancur.

Jamil Azzaini, sahabat, guru dan panutan bagi banyak orang. Salah seorang yang kuanggap sebagai penterjemahku dalam memahami dunia islam yang mulia, mengatakannya dengan cara lain. “Hidup dan pengejaran kita terhadap cita-cita dan sukses mulia, kadang terasa bagai arena balapan mobil. Dimana disalah satu kesempatan, semua itu mengharuskan kita untuk memasuki sesuatu bernama Pitstop. Sebuah fase dimana mobil, “beristirahat sesaat” lalu dicek segala sesuatunya, sebelum kemudian digunakan kembali.

Lalu Gede Prama, seorang Rsi di dunia modern, mengajarkan tentang “memberi kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Sang Diri”. Menemukan dan menikmati hidup yang sesungguhnya dalam alam, diri dan TUHAN.

Keempat orang bijak itu tengah berbicara hal yang sama : Hukum Kapasitas.

Bahwa segala sesuatu memiliki kapasitasnya sendiri-sendiri, tak terkecuali manusia. Hati, pikiran dan tubuh kita memiliki kapasitas. Dan pengejaran kita –entah terpaksa untuk sekedar bertahan hidup atau memang disengaja, karena sebuah cita-cita- membuat kita seperti berada dalam sebuah arena balap. Semuanya tak jarang membuat manusia termuati melebihi kapasitas yang seharusnya.

Uniknya, tidak banyak dari kita sadar akan hal itu. Kita sibuk dan disibukkan oleh sekitar. Hingga tidak tersisa waktu, untuk sekedar bercakap-cakap dengan diri sendiri, apalagi Sang Pencipta. Kontemplasi yang adalah kebutuhan dianggap aneh dan hanya porsi para Rsi.

Kita terlalu takut untuk meletakkan sejenak gelas di tangan kita. Mungkin kita kuatir ada seseorang yang akan menyambar gelas itu, begitu diletakkan. Mungkin kita merasa segala kesibukan itu demikian berarti hidup-mati, sorga-neraka buat kita. Atau bisa jadi kita mengganggap tidak cukup waktu untuk melakukan hal-hal yang tampak remeh, untuk me-refresh diri. Tidak ada yang sadar pasti tentang keadaan diri masing-masing. Mungkin hanya TUHAN, Malaikat dan Setan yang tahu, sementara kita sendiripun terkurung kesibukan.

Satu hal yang pasti : gelas itu, jika tidak diletakkan pasti akan jatuh dan hancur berkeping-keping.

Happy weekend guys...(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar