Jumat, 15 Agustus 2008

Thank’s Papa..Kau Sudah Berbuat Begitu Banyak

By Made Teddy Artiana


Kali pertama dalam hidupku merenungkan hal ini. Sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya. Sederhana tetapi dalam. Biasa tetapi sarat dengan anugerah. Anehnya pewahyuan ini terkuak, karena berbagai peristiwa dan cerita yang datang beruntun bak pawai tujuh belasan. Hikmat dan kebijaksanaan memang sering berkunjung terbungkus baju tak sewajarnya.
Bermula ketika menghadiri sebuah pemakaman seorang suami sekaligus ayah, yang meninggalkan istrinya dan kedua anak yang masih kecil. Kemudian mendengarkan seseorang yang dianiaya oleh bapak kandung nya sendiri, hingga gendang telinganya pecah. Ini gila. Bapaknya penjudi dan main perempuan. Sampai-sampai menghamili tetangga sebelah rumah. Setelah itu beberapa hari kemudian menyaksikan orang lain, seorang lelaki muda dengan kepribadian tidak utuh, karena sampai sekarang tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Lalu iseng mendengarkan curhat pembantu, yang sempat belasan tahun dititipkan oleh bapak ibunya pada saudara, hanya karena sebuah kepercayaan yang tidak masuk akal. Sampai kepada keluh kesah famili jauh yang ayahnya harus melarikan diri dari kejaran polisi, meninggalkan istrinya dipenjara dan tiga orang anak-anaknya, karena ia dan istrinya berjualan handphone selundupan. Kisah nyata ini ditutup oleh air mata istri tercinta yang kadang tumpah, karena memendam rindu kepada ayah tercinta yang telah meinggalkannya sejak ia kecil. Ditambah lagi keinginannya yang dalam untuk sekedar menikmati pelukan ayah tercinta. Sebenarnya rentetan ini tidak akan pernah tertutup, jika saja Anda semua bersedia menambahkan kisah lain dalam pawai karnaval bertema ‘ayah’ ini.
Anehnya semua itu membuat tiba-tiba saja aku merasa menjadi seorang yang paling beruntung didunia ini. Dalam hal memiliki ayah tentunya. Atas nama takdir, semua tragedi diatas tidak pernah aku alami. Bahkan sampai sekarang aku masih dapat merasakan kasih saya seorang papa. Tidak hanya itu, entah karena beruntung atau apapun namanya, aku memiliki seorang papa yang luar biasa. Ia sederhana, setia pada istrinya, rajin bekerja keras, mencintai anak-anaknya dan selalu saja siap mengorbankan apapun untuk keluarga. Tetapi kalau boleh jujur, walaupun malu untuk mengakuinya, tidak pernah terucap kata syukur ataupun terima kasih atas semuanya itu. Kepada Ilahi yang memberikan takdir manis untuk dijalani. Begitu juga kepada Sang Papa, yang telah bertarung sekian lama, melawan kemiskinan, godaan, bertarung habis-habisan untuk aku, kakak dan mama. Terlintas cerita-cerita ‘luar biasa’ tentang awal perjuangan papa ku. Masuk keluar pasar, berjalan kaki berkilometer jauhnya, ketika harus berjualan minyak kayu putih eceran, supaya kami dapat makan dengan layak. Belum lagi berjualan kaset bercampur baur diantara pedagang miskin, gembel dan preman disebuah pasar loak kecil, di Denpasar sana. Sebuah cerita agak tragis pernah kami alami. Waktu itu aku sudah duduk dikelas lima SD. Cukup besar untuk dapat mengingat. Rumah kami sekeluarga mengalami ancaman gusuran. Waktu itu papa, tanpa mengindahkan harga dirinya pergi menghadap mereka yang berwenang Mudah ditebak, ia pasti memelas meminta belas kasihan agar kami tidak digusur. Akan dikemanakan anak dan istrinya jika itu sungguh-sungguh terjadi. Untunglah TUHAN masih berpihak pada kami. Hati mereka, yang berwenang itu melembut dan kami diijinkan untuk tetap tinggal dirumah itu untuk waktu yang tak terbatas. Tetapi yang kuingat jelas dari kejadian itu adalah bekas air mata papaku yang masih membekas dipipi ketika pulang kerumah. Mungkin ia lupa menghapusnya.
Akhirnya perjuangan panjang berbuahkan hasil. Aku dan kakak ku berhasil mengeyam pendidikan perguruan tinggi dan berada pada tingkatan kehidupan yang baik hingga sekarang. Setelah umur ini mencapai 30 tahun baru aku sadari, itu semua karena mimpi seorang papaku. Entah apa jadinya jika papa puluhan tahun yang lalu,hanya karena kemiskinan, tidak berani bermimpi besar untuk anak-anaknya. Mimpi itulah yang agaknya membuat ia, dengan gagah berani bertarung di arena kehidupan. Meski tidak jarang harus babak belur dihajar oleh ujian nasib, aku bersyukur papa ku tidak pernah membuat sekalipun bendera putih dikibarkan. Ia memutuskan untuk berdiri hingga menang. Dan yang paling penting, ia mewariskan ‘keberanian untuk bermimpi’ kepada kami anak-anak papa, sehingga kami menjadi orang-orang yang selalu berani berharap untuk sesuatu yang luar biasa diluar sana. Terlepas dari kenyataan didepan hidung yang seolah-olah membuat itu mustahil.
Aku sadar sesadarnya. Seberapapun kerasnya mencoba, tidak akan pernah bisa membayar semua keringat, air mata bahkan darah yang sudah ditumpahkan papa untuk kehidupanku. Meskipun seandainya IA, Sang Pemilik Hidup ini, memberikan tambahan umur 100 tahun lagi. Membalas kebaikan papa, sama seperti menggarami lautan luas. Mustahil. Tetapi ada sebuah janji dihati ini, untuk bertarung selama nyawa masih membuat mata ini terbuka lebar. Selama TUHAN masih mempercayakan aku untuk hidup dibumi milik-NYA. Sebuah tekad untuk menjadi seorang papa yang terbaik bagi anak-anakku. Menjadi suami yang terbaik bagi istriku. Dan menjadi yang terbaik bagi orang lain. Paling tidak supaya perjuangan papaku tidak menguap sia-sia ditiup angin. Setidaknya ketika nama belakang keluarga disebutkan oleh siapapun, nama itu menebarkan bau harum.
Thank’s papa…walaupun tak pernah kau pinta, akhirnya aku menyadarinya. Kau sungguh sudah berbuat begitu banyak untuk aku, anakmu. Semoga TUHAN yang telah menganugrahkan kau padaku, selalu menjagamu setiap waktu. Dan semoga Dia juga yang telah mengirimkan aku pada mu, mampu membuat mu tersenyum bangga menjadi papaku. (***)

Selasa, 10 Juni 2008

80% Hoki, 20% Kerja Keras

80% Hoki, 20% Kerja Keras
By (MTA)Made Teddy Artiana


Hampir disetiap pertemuan dengan seseorang yang saya anggap telah sukses, selalu saja ada godaaan untuk melontarkan pertanyaan berikut. Tips nya apa nih Pak supaya sukses/kaya seperti Bapak ? hampir dapat dipastikan jawaban yang selalu saya terima adalah : bekerja keras. Sebagian orang tentu sependapat dengan saya, bahwa jawaban itu klise dan standard banget. Celakanya, walaupun berulang kali menerima jawaban yang itu-itu saja, rupanya saya tidak pernah kapok. Hingga suatu saat, dalam sebuah kesempatan aneh, saya berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan seorang sahabat yang notabene ada pengusaha yang sangat sukses. Tetapi lucunya ketika pertanyaan yang sama saya lontarkan, agak mengejutkan juga ia menjawab dengan sangat berbeda. Menurut nya seorang yang berada pada golongan kaya, menengah atau miskin dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut.

80% hoki, 20% kerja keras adalah ciri orang kaya
50% hoki, 50% kerja keras adalah ciri orang menengah
20% hoki, 80% kerja keras adalah ciri orang miskin

Jadi rumusan itu dapat diartikan begini, jika kerja keras Anda itu 80% tetapi hanya menghasilkan sedikit, itu berarti hoki(baca : keberuntungan) Anda hanyalah 20% dan Anda sudah pasti berada pada lapisan ‘orang miskin’. Nah jika, kerja dan hasil Anda sebading, dalam artian 50% kerja, 50% hoki, dapat dipastikan Anda berada pada lapisan kedua, alias kelas menengah. Hal yang sama berlaku pada lapisan teratas atau golongan orang kaya.

Pertama kali ketika mendengar formula itu saya pribadi spontan membantah nya. Kok bisa ? kira-kira begitu kata-kata pembuka yang saya gunakan. Apalagi jika mendengar kata ‘hoki’ serta merta pikiran saya terarah pada sesuatu yang bersifat ‘bawaan’ atau ‘anugerah’ atau ‘dari sononya’ alias nggak bisa dipaksain. Wong udah nggak hoki gitu loh…kira-kira demikian. Sedari dulu memang saya agak alergi dengan satu kata itu. Tetapi jujur saya tidak punya nyali untuk berdebat dengan ‘orang kaya raya’ yang sekarang duduk di depan hidung saya ini. Ngedumel dalam hati adalah pelampisan terbaik disaat-saat seperti ini. Namun syukurlah, menurut sahabat saya tersebut, hoki itu bisa diciptakan. Bisa direkayasa. Oh ya ? Sure ! Langkah pertama, ketahui dulu apa sih yang mengundang keberuntungan itu. Langkah kedua, berubah. Langkah ketiga, membiasakannya. Mendidik diri untuk terbiasa menerapkan hal itu hingga environment hoki itu terekam di alam bawah sadar kita dan pada saat diperlukan …jreeeeeeng!!!…otomatis nongol kepermukaan.

Sahabat saya itu kemudian memberikan contoh yang sangat sederhana. Naik sepeda. Waktu baru belajar, minta ampun susahnya, babak belur, benjut dan sebagainya itu sudah biasa. Pernah bertemu orang yang baru belajar naik sepeda yang tidak pernah jatuh ? Rasanya tidak pernah. Tetapi segalanya menjadi berbeda, ketika kita sudah menguasai sepeda itu. Kini pertanyaanya adalah pernah bertemu orang yang telah mahir bersepeda dan berpikir keras setiap ingin mengayuh pedal nya ? Jawabannya persis sama. Rasanya tidak pernah.

Demikianlah juga dengan kebiasaan-kebiasaan yang ‘berkuasa’ untuk mengundang hoki. Lagi-lagi menurut sahabat saya itu, ia menganjurkan untuk senantiasa berlatih hingga ketrampilan mengundang hoki itu sungguh-sungguh terekam dan menjadi kebiasaan yang mendarah daging di alam bawah sadar kita. Ditanggung kerja keras Anda tersisa hanya 20%, karena yang 80% sudah di handle oleh binatang bernama ‘hoki’.

Bicara soal hoki, tiba-tiba saja saya teringat sebuah quote milik Thomas Lanier Williams III atau yang lebih dikenal dengan nama Tennessee Williams. Penulis sandiwara kelas dunia yang sangat tersohor disekitar tahun 1930-1983 dan telah banyak menerima penghargaan. Beliau sempat sedikit berceloteh tentang hoki. “Luck is believing you're lucky.” Ini good news bagi saya. Karena menurut saya, kalimat ini dapat dijadikan starting point yang cukup bagus untuk mulai menarik hoki kepangkuan kita. Untuk mengundang hoki datang, sangat simple, yakni mempercayai bahwa kita beruntung.

Satu hal lagi, ijinkan saya sedikit mengutip sebuah kalimat dari seorang yang paling bijaksana yang pernah hidup didunia ini, Raja Solaiman, namanya Dalam sebuah syair beliau pernah menulis : “Percuma saja bekerja keras mencari nafkah, bangun pagi-pagi dan tidur larut malam; sebab TUHAN menyediakannya bagi mereka yang dikasihi-Nya, sementara mereka sedang tidur. “

Menggelitik memang. Apakah segalanya ini terlalu disederhanakan ? Ataukah memang demikian sederhana, hanya saja karena campur tangan kita ini, manusia-manusia yang sering menganggap dirinya begitu pandai, akhirnya malah merumitkan segala yang sesuatu.

Lepas dari itu semua, siapapun di dunia ini, termasuk sahabat saya itu, tentu bebas memformulasikan apapun yang dianggapnya resep ‘cespleng’ untuk sukses. Dan mereka sesuai dengan frekuensinya akan menarik realitanya masing-masing. Bagaimana dengan Anda ? Ingin coba resep sahabat saya ? Kalau boleh jujur saya pribadi tengah menerapkan formula hoki-hokian itu. Semoga dalam 90 hari kedepan saya telah merasakan hasilnya. Seperti kata pepatah wong londo...We never know, until we try. (***)

Rabu, 09 April 2008

Lupakan Jurus-Jurus Itu !!!

by Made Teddy Artiana

Seorang guru tengah mengajari salah satu muridnya, yang tercerdas,sebuah jurus pamungkas. Yang jadi masalah, keadaan sama sekali tidak menguntungkan tiga orang musuh yang sakti tengah menunggu dengan tidak sabar. Pertarungan hidup mati sudah disiapkan. Keringat dingin mengalir di dahi keduanya. Jurus pertama..kedua..ketiga..hingga kelima, hingga tiba diakhir jurus kelima, sang guru bertanya, "Bagaimana ? Apakah kau ingat jurus-jurus itu tadi ?". Dengan mata terbelalak..dan wajah pucat muridnya menjawab,"Ttti..tidak". Diluar dugaan sang guru menjawab, "Bagus!! Lupakan saja.Sekarang bertarunglah!!" Mendengar seruan sang guru, ketiga musuh segera merangsek dengan gugup murid melawan sekenanya. Namun aneh, jurus-jurus yang diajarkan sang guru muncul begitu saja, mengalir, tidak persis sama dengan yang diajarkan oleh sang guru, tetapi memiliki jiwa yang sama. Dengan kata lain,jurus yang sama bekerja dengan cara berbeda oleh guru dan murid.

Anda benar. Adegan itu hanya sebuah film kungfu yang diangkat dari sebuah legenda Cina yang sarat dengan ajaran kebijakan. Moral ceritanya adalah Dalam mempelajari ilmu apapun termasuk ilmu kewiraswastaan membaca itu baik..menghafal itupun baik ..bahkan menciplak juga kadang menghasilkan tetapi yang utama dari semua itu adalah nikmati..rasakan..hingga meresap kebagian terdalam diri kita.. hingga menyatu dengan diri…hingga jurus-jurus itu beraksi…tidak sama dengan siapapun juga.

Jika Anda seorang profesional... nikmati pekerjaan Anda hingga kesumsum terdalam. Jika Anda seorang entrepreneur... rasakan kenikmatan perjalanan seorang entrepreneur jangan terlalu pedulikan ujung perjalanan itu entah kaya atau miskin, entah bangkrut atau jaya, apapun itu lakukan yang terbaik, buang semua beban.
Bergerak bebas mengalir, kadang searah air kadang berlawanan dengan aliran air.
Nikmati.
Hidup itu sungguh-sungguh indah.

What a wonderfull world ! what an abundant life !! What an exciting journey !!!

om santi..santi..santi
MTA -seorang penikmat hidup- www.orang-bali.com

Dasar Padang Geblek !!!

by MTA (www.orang-bali.com)


Ketika pertama kali tulisan ini kutulis dan iseng kukirimkan ke teman-teman dekat, beberapa teman yang kebetulan orang padang mengernyitkan dahi. Bahkan ada seorang sahabat yang langsung menelponku, dan bertanya lugas.."Heh Bali, maksudmu apa ?".Ha..ha..ha..kontan aku tertawa..cobalah baca dulu kawan, ajakku. Merekapun menurutinya.

Dulu, kira-kira sepuluh tahun yang lalu, ketika masih berstatus mahasiswa, sekaligus anak kos di Depok sana. Dengan modal cita-cita setinggi langit, meskipun tanpa didukung dengan keadaan keuangan yang mencukupi, kami bertahan. Cerita nonfiksi meskipun terdengar agak klise tentang perjuangan seorang mahasiswa.
Tersebutlah sebuah rumah makan padang yang sederhana dan seorang Uda (sebutan kakak untuk saudara-saudara kita yang berasal dari Padang) yang menempati tempat unik pada keseluruhan kisah perjuangan kami. Rumah makan padang itu menjadi langganan kami, untuk mengisi kampung tengah alias perut ketika cacing-cacing mulai memanggil. Hampir setiap hari kami nongkrong disana. Nama rumah makannya, tidak sempat untuk diingat, apalagi nama Sang Uda. Tetapi jika disuruh mengingat wajah Si Uda, seratus persen aku sanggup. Ingatan akan wajahnya sedemikian kuat sehingga aku tak pernah kesulitan untuk melukiskannya. Nah berhubung nama asli kedua tidak sempat kami ingat, kami memanggil keduanya dengan sebutan Geblek. Rumah makan itu sebagai "Padang Geblek" dan Si Uda dengan sebutan "Uda Geblek". Uniknya sebutan ini berasal dari senior-senior kami, bahkan konon yang pertama kali menamai sebutan itu adalah seorang senior yang kebetulan seorang berdarah Padang !

"Dari semua orang Padang, hanya dia yang Geblek", begitu seloroh yang sering muncul diantara kami. Anehnya ketika seloroh itu muncul, tidak ada ekspresi 'hina' diwajah mereka, malah tampak jelas rasa hormat yang dalam terhadap Si Uda Geblek. Dan satu lagi, ada sebuah percakapan yang unik yang selalu diulang-ulang. Percakapan ini dulu juga sempat terjadi padaku dan tentunya terjadi pada teman-teman baru yang belum mengetahuinya.

"Makan yok"
"Dimana ?"
"Di Padang Geblek"
"Apa ???"
"Iya..Padang Geblek.."
"Lho kok Geblek ? Nama rumah makan padangnya kok aneh"
"Iya nanti lu juga tahu kenapa Geblek, dari semua orang Padang, hanya dia yang Geblek"
"Mahal nggak ?"
"Nah itu dia Gebleknya…tenang aja"

Ketika pertama kali makan ditempat itu, dengan segeralah kita mengetahui mengapa sebutan Geblek diperuntukkan padanya. Si Uda tidak pernah akan segan, menambahkan nasi atau sayuran bahkan lauk pada pesanan kita.

"Nasi lagi ? Cowok masak segitu makannya"
"Ini ayam goreng kemaren malam, tapi masih bagus, mau ya ?"
"Nih Uda tambahkan daging cincangnya"
"Nih uda kasih rendang".

Itu sederetan kalimat favorite-nya, yang begitu sering kami dengan hingga hafal. Biasanya, mereka yang baru pertama kali kesana, akan membelalakkan mata, terkaget-kaget menyaksikan kegeblekan Si Uda,sambil menoleh kearah kami yang tersenyum-senyum geli. "Graaaatisssssss !!" seru kami sambil tertawa bersama. Itulah Kegeblekan Si Uda. Tak jarang kami menggeleng-gelengkan kepala jika mendengar pengalaman-pengalaman unik dari begitu banyak teman-teman yang mengalami ke-geblek-kan Si Uda. Uda…Uda…bagaimana bisa untung. Kaya ? Apalagi !!!

Tapi memang itulah yang dilakukan Uda Geblek. Aneh tapi nyata. Geblek, namun membawa berkah buat kami. Penasaran tentang filosofi hidupnya, setelah kenal dekat akupun memberanikan diri bertanya kepadanya.

"Begini..", jawabnya sambil tersenyum mengangguk-anggukan kepala,"Uda ini punya anak dirantau yang juga kuliah, kalau uda baik sama mahasiswa-mahasiswa, pasti anak-anak uda disana juga dibaikin sama orang-orang.Kalau kita kasih orang makan, pasti anak-anak uda tidak akan kekurangan makan. Doa-doa syukur orang yang kita tolong itulah yang jadi keuntungan buat kita. Apalagi orang tua uda mengajarkan kalau mau kaya jadilah Padang Bengkok, tapi kalau mau beruntung dalam hidup ini, kita tidak bisa jadi Padang Bengkok, kita harus lurus".

Betapa benarnya Si Uda Geblek, ternyata filosofi unik inilah yang membuat ia tidak saja mendapatkan keberuntungan hidup tetapi juga sebuah keuntungan bisnis yang tidak kecil. "Padang Geblek" menjadi sebuah brand yang sangat kuat dikalangan para mahasiswa waktu itu. Belum lagi slogan "Dari semua orang Padang, hanya dia yang Geblek !!", yang diciptakan oleh kami para mahasiswa menjadi sebuah slogan marketing yang unik dan ampuh. Saking ampuhnya slogan itu, hingga hampir siapapun yang mendengarnya akan tertarik untuk berkunjung ke rumah makannya. Bahkan lebih dari itu, kami-kami ini seolah bertindak sebagai sales marketing yang membentuk sebuah fansclub yang demikian loyal menyebarkan cerita-cerita kemurahan hati Si Uda Geblek. Itu semua terjadi tanpa rekayasa. Bukan Si Uda yang menciptakan semuanya, tidak ada ahli marketing yang disewa untuk menciptakan kondisi seperti itu, apalagi teori-teori rumit yang memusingkan kepala dan kantong tentunya. Singkatnya : tidak ada 'Orang Pintar' dibalik semuanya itu, yang ada hanyalah orang yang berdagang dengan 'Nuraninya' dan hidup bertutur bahwa orang-orang seperti inilah yang pasti mendapat dukungan dan keberuntungan dari Sang Pemilik Hidup, The Invicible Hands sumber segala rezeki dan keberuntungan.


Akhir kata…Terimakasih atas ke-Geblekan mu Uda. Entah apa yang terjadi pada kami-kami ini, jika Uda tidak geblek !!!.

****