Selasa, 18 Mei 2010

Seandainya Aku Jadi Aburizal Bakrie


ditulis oleh Made Teddy Artiana, S. Komp
fotografer & penulis



Aburizal Bakrie. Siapa yang tidak kenal beliau ? 99% orang Indonesia pasti pernah mendengar namanya tidak hanya di dunia bisnis namun juga di jagat perpolitikan. Tidak berlebihan memang, karena sepak terjang Ical, kerap kali menarik perhatian, alias membuat geger.

Terlepas dari masalah pengemplangan pajak, yang dituduhkan oleh Dirjen Pajak, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan mantan menkeu, Sri Mulyani yang kabarnya mencapai triliyun-triliyunan, demikian juga masalah Lumpur Lapindo, yang telah ditetapkan pemerintah sebagai bencana alam, dan belum dapat teratasi hingga sekarang.

Terlepas dari itu semua, kalau boleh jujur, sejak dulu aku amat sangat mengidolakan sosok Aburizal Bakrie. Dengan kerajaan bisnis yang begitu menggurita, dari batu bara, perkebunan, minyak, telekomunikasi dan lain sebagainya. Bayangkan berapa besar sumbangan yang diberikan oleh Bakrie terhadap roda perekonomian Indonesia ? Berapa besar bisnisnya berhasil menyerap tenaga kerja diseluruh negeri ini ? Berapa besar devisa yang didatangkan oleh perusahaan-perusahaan mereka ?

(Bandingkan dengan para koruptor goblok yang tidak tahu malu, yang bisanya hanya nyolong, menggertak,main kuasa, memeras, memperkaya diri sendiri, tanpa berdampak pada lapangan kerja untuk orang banyak dan kemakmuran perekonomian bangsa. Kalau berani jadi pengusaha, jangan jago kandang doang !!!)

Buatku pribadi Aburizal Bakrie adalah sosok ideal anak bangsa yang berkontribusi luar biasa dengan enterpreneur spirit yang dashyat. Lulusan ITB ini adalah pengusaha nasional favorite buatku. Perwujudan segala mimpi-mimpi ku. Pengusaha briliant, sukses sejak muda, kaya raya, cerdas dan punya kekuasaan informal yang sangat besar.

Tidak hanya itu, Ical juga dikenal jago sihir. Dunia bisnis sering membuktikan bahwa apa yang bagi sementara orang ‘mustahil’, dapat dirubah oleh beliau menjadi ‘kenyataan’.

Tahun 1997, ketika dunia bisnis berantakan dihajar krisis moneter, group Bakrie seperti halnya perusahaan-perusahaan lain- termasuk kedalam daftar ‘sekarat’ dan harus masuk UGD, karena sudah megap-megap. Sepuluh tahun kemudian, Bakrie sudah mencatatkan dirinya sebagai orang terkaya pertama di Asia Tenggara !

Jauh melampaui Robert Kuok (orang terkaya di Malaysia - memiliki 7,6 miliar dolar AS), Teng Fong (terkaya di Singapura - memiliki 6,7 miliar dolar AS), Chaleo Yoovidya (terkaya di Thailand - memiliki 3,5 miliar dolar AS), dan Jaime Zobel de Ayala (terkaya di Filipina – memiliki 2 miliar dolar AS).

Tersebutlah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bisnis perhotelan, Bumi Modern namanya. Disekitar tahun 2000, group Bakrie masuk dan mengubah tidak hanya nama melainkan juga bidang usaha Bumi. Bumi moderen berubah nama menjadi Bumi Resources, bidang perhotelan jadi pertambangan batu bara.

Bumi mulai dikenal orang ketika ia membeli perusahaan tambang batubara bernama PT. Arutmin Indonesia, ini menggemparkan karena jika dianalogikan traksaksi pembelian ini mirip ikan teri menelan ikan tongkol. Apa yang membuat bank dan para peminjam modal percaya akan visi Bakrie yang belum tentu benar, dan merelakan penjaman duit sedemikian besar ?

Belum lagi selesai keterkejutan dunia bisnis, ditahun 2003, Bumi kembali melakukan hal spektakuler, yang gaungnya sampai kedunia internasional : Bumi membeli KPC (Kaltim Prima Coal)-perusahaan tambang batubara terbesar didunia, dengan kapasitas produksi raksasa- dari tangan Rio Tinto. Kali ini ikan teri itu, berhasil menelan ikan paus bulat-bulat !! Transaksi yang mustahil, tapi berhasil dibuat jadi kenyataan oleh Bakrie.

Dari mana sumber dana pembeliaan berasal ? Apa yang mengakibatkan Rio Tinto mau menjual 100% saham mereka kepada Group Bakrie dengan harga $500 juta, padahal perkiraan harga pemerintah terhadap KPC sebesar $800 juta ? Apa kekuasaan dan pengaruh Bakrie memang sedemikian luar biasa ?

Tidak ada yang dapat memberikan penjelasan dengan pasti. Itu adalah sebuah transaksi keuangan yang demikian rumit, lobby-lobby super tangguh, visi yang sangat luar biasa. Transaksi yang hanya bisa dilakukan oleh para dewa !

Itu belum seberapa, ketika telah mengambil alih KPC dan Arutmin, entah kebetulan atau memang mata sihir keluarga Bakrie sudah dapat melihatnya, beberapa bulan kemudian harga batu bara duniapun melejit, mencapai titik tertinggi. Dengan kapasitas produksi raksasa dan harga jual batu bara yang sangat tinggi, bayangkan keuntungan yang diraih oleh Bumi. Luar biasa !

Tidak munafik, saat itu aku dan beberapa teman yang memang berinvestasi di pasar saham (dalam skala kecil tentu saja) ikut kecipratan rejeki nomplok dari melambung-liar nya harga saham berkode BUMI ini. Setiap pagi kami, para investor kecil-kecilan ini dengan tegang menatap tak berkedip layar monitor, menyaksikan geliat saham BUMI. Bahkan one day trading yang kami lakukan iseng-isengpun menghasilkan hasil yang luarbiasa cukup untuk makan siang tiga bulan.

Seorang teman, dengan jumlah lot saham BUMI terbesar diantara kami, begitu terobsesi, hingga terbawa mimpi ketika saham BUMI disuspen, karena otoritas BEJ menuntut manajemen BUMI memberikan keterbukaan informasi pada investor publik. Dalam mimpi temanku itu, ia dan aku (kok bisa-bisanya aku masuk dimimpinya) menunggu mondar-mandir gelisah di sebuah pintu ruangan yang tertutup yang bertuliskan ‘JANGAN BERISIK BEJ DAN BUMI SEDANG MEETING DIDALAM’.

Beberapa tahun berlalu, harga saham BUMI yang dulu hanya berkisar 300-an, akhirnya sempat menyentuh 8.000-an sebelum kemudian anjlok, buy back dan bertengger diangka 2.000-an, sampai sekarang.

Rupanya akrobat belum selesai, group Bakrie kembali melakukan sesuatu yang menggemparkan dunia bisnis. Mereka menjual Arutmin dan KPC dan nilai jual belinya disekitar $3 miliyar (sekitar 27 Triliyun), jauh diatas transaksi yang dilakukan keluarga Sampoerna dengan Philip Moris, yakni sekitar $2 miliyar (sekitar 18 Triliyun). Membeli di harga $500 juta dan menjual kemudian diharga $3 miliyar !

Beberapa tahun kemudian, kembali terdengar isu bahwa Bumi akan membeli KPC kembali dari tangan Tata Power dengan harga sesuai kesepakatan jual beli, BUMI berhak menerima penawaran pertama jika Tata berniat menjual KPC dan Arutmin. Dan kabarnya, harga itu sangat rendah, hanya 50 persen dari harga beli Tata !
Sedikit menyimpang dari itu semua. Apakah masuk akal jika pengusaha sekaliber ini kemudian mati-matian hanya berniat jadi presiden Indonesia ? Aku meragukannya.

Aku rasa Aburizal sama sekali gak minat jadi presiden, namun lebih dari itu, diatas presiden. Sebuah kekuasaan informal yang sangat amat mempengaruhi presiden. (persis mirip dengan kekuasaan taipan Yahudi terhadap Presiden USA)

Aku rasa itu sah-sah saja. Sepanjang sang saudagar tetap mengedepankan moral dan membuat rakyat dan bangsa ini jauh lebih makmur dari sekarang. Karena suka tidak suka, waktu sudah membuktikan bahwa kadang lembaga-lembaga pengawas, tidak terlalu efektif untuk digunakan sebagai alat memonitor kerja pemerintahan.

So what is the plan ?

Simple walau agak aneh memang, tapi tidak ada salahnya kita coba. Karena pengaruh doa sampai kapanpun, adalah mendekatkan kita dengan kepada siapa kita berdoa (TUHAN) dan mendekatkan hati kita untuk siapa kita berdoa.(anak, istri, sahabat, orang lain, bahkan musuh).

Karena itu mari kita mendoakan 100 orang terkaya di Indonesia dengan hati yang tulus, terutama ia yang berada dipuncak kumpulan mereka, Aburizal Bakrie, supaya TUHAN yang memberikan segenap kecerdasan, keberuntungan, keajaiban, kesehatan dan kemuliaan itu semakin memberkati mereka dengan kemakmuran yang lebih dashyat, menganugrahkan keluarga mereka dengan harmonis, kesehatan bagi mereka, istri, anak dan cucunya dan yang terpenting dari semuanya itu, menggerakkan para taipan-taipan tersebut untuk punya hati yang takut akan TUHAN dan tulus mengasihi bangsa dan rakyat Indonesia.

Sehingga teori gelas penuh yang akan tumpah kesekelilingnya itu akhirnya dapat terwujud.

Apakah itu mungkin ? Sebagian kawan dekat ketika kuceritakan hal ini serta merta mencibir : “Elu kurang istirahat, Made. Jadi mimpinya kebablasan !!”.

Demo dan ancaman mungkin dapat melakukan sesuatu. Demikian pula kekerasaan dan kerusuhan. Tapi ‘doa’ seringkali sudah dilupakan. Sebuah senjata pamungkas yang sudah dibuang jauh-jauh, karena dianggap kuno, gak menghasilkan dan lambat pengaruhnya.

Manusia lupa bahwa ketika kita berdoa kita berurusan dengan kekuatan Maha Dashyat yang mengendalikan tidak hanya langit, bumi, laut dan segala isinya, namun juga jutaan galaksi dan antariksa. Pribadi yang punya otoritas tunggal terhadap waktu, masa dan nasib manusia. Jika IA menutup tak ada yang dapat membuka, meninggikan dan tak ada yang sanggup merendahkan, mematikan dan tidak ada seorangpun yang dapat menghidupkan.

Doa mengundang intervensi TUHAN. Apapun dapat terjadi jika IA sudah terlibat. Tidak ada perkara sebesar apapun yang terlalu mustahil bagi TUHAN, termasuk mengubah hati seseorang.

(Bayangkan apa yang terjadi jika ratusan juta orang Indonesia ini berdoa sungguh-sungguh, demi kemajuan dan kemakmuran bangsa)

Kita kembali menengok judul diatas, kemudian seandainya saja aku akhirnya memiliki kecerdasan, kekayaan dan pengaruh seperti Aburizal Bakrie. Apa sih yang kira-kira akan kulakukan ?

Aku akan ikut mengawasi pemerintah. Mendesak presiden memutasi pejabat-pejabat bandel ke pedalaman gunung Jayawijaya. Menekan kepala daerah, yang waktu berkampanye berjanji ini-itu, mengaku ahli, padahal ‘telmi’ setelah menjabat. Bahkan mengawasi menteri-mentri, yang lebih suka tampil di televisi, berfoto jaim di majalah dan pinggir jalan, padahal tidak berprestasi kerja. Memonitor oknum anggota DPR yang asyik plesiran, main perempuan, korupsi dan lupa bekerja. Mendukung kinerja presiden dan wapres, lewat jalur informal.

Aku akan memberikan pensiun Rp. 500 juta, kepada para guru yang sudah terbukti mengabdi berpuluh-puluh tahun dengan iklash, mencerdaskan para bakal gubernur, mentri, presiden dan pengusaha.

Memberikan 1 M, dalam bentuk ternak, modal kerja dan beasiswa, kepada desa yang masyarakatnya terbukti telah bergotong royong membangun, menjaga dan memakmurkan desa mereka.

Memanggil seluruh orang pintar Indonesia yang terpaksa harus kabur dan bekerja di luar negeri, hanya karena gaji yang kurang dan kurangnya penghargaan terhadap nasinalisme mereka.

Menganggarkan Rp. 1 Miliar setiap tahun untuk pesantren dan pusat-pusat pendidikan agama diberbagai pelosok Indonesia, sehingga para ulama, pendeta, pedanda dan tokoh agama dapat mengarahkan umat mereka kepada jalan yang benar. Dan menjadikan pusat-pusat keagamaan iu sebagai pusat pembentukan akhlak yang mulia, pemuda-pemuda militan ‘yang berani hidup’ berjuang untuk memenuhi takdir mereka sebagai rahmat bagi semesta, dan bukan sebagai tempat berakar nya dendam kesumat, kebencian, balas dendam yang pasti akan menambah lebar luka, mengeruhkan hati nurani, yang jika dilanjutkan tidak akan berakhir sampai kapanpun juga.

Hadiah Rp. 100 Miliar kepada para penegak hukum yang berani membongkar hingga tuntas skandal kejahatan apapun ditubuh lembaga negara.

(ee..kok jadi mirip janji kampanye..hi..hi..)

Memberikan pensiun 1 Triliyun bagi kepala negara/presiden dan wapres, dan 100 Miliar bagi kepala daerah setingkat gubernur, yang dalam masa pemerintahannya telah berhasil membawa dampak kemakmuran dan kemajuan yang signifikan bagi bangsa dan negara.

Dan banyak program lain.

Semoga TUHAN memberkati Aburizal Bakrie dan 100 orang terkaya di Indonesia, sehingga menjadi 100 orang terkaya di dunia dan 100 orang terkaya yang namanya tercantum juga di Sorga ! Karena sampai kapanpun, sepertinya, Sorga tidak akan mungkin terbeli dengan uang, seberapapun besar jumlahnya. Dan TUHAN tak mungkin dapat kita akal-akali, seberapapun cerdas otak yang kita miliki. (selesai)

Senin, 03 Mei 2010

Kau Dengan Gunung Mu, Aku Dengan Gunung Ku

ditulis oleh Made Teddy Artiana, S. Kom
fotografer, penulis & grafik desainer


“Begitu banyak orang takut akan persaingan. Ini aneh. Karena permulaan kehadiran kita didunia ini dimulai dalam sebuah proses persaingan. Mungkin kita dapat belajar dari sebuah proses pembuahan. Sel sperma yang berjuta-juta itu harus bersaing sedemikian rupa untuk membuahi satu sel telur. Mereka harus berlomba berenang begitu cepat, berebut untuk mengawini satu sel telur tersebut. Dan yang kuat, cepat, tangguh akan keluar sebagai pemenang”

Demikianlah uraian yang berulang kali ku dengar dari salah seorang ulama yang sangat terkenal, guru sekaligus seseorang yang sangat kukagumi. Tapi kalau boleh jujur, aku tidak terlalu sependapat dengannya. Uraian beliau tentang persaingan kuanggap tidak seratus persen benar.

Mengapa ?

Aku dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang memelihara sebuah persaingan sebagai budaya tak terlepaskan dari kehidupan mereka. (Siapa sih yang tidak ? Aku rasa kita semua mengalami nasib yang sama).

Mula-mula di dunia pendidikan. Sebagian besar dari kita terbiasa/terpaksa belajar dan memperoleh prestasi, seolah-olah seperti dalam sebuah arena persaingan. Juara satu, dua dan tiga. Ranking sepuluh besar. Kebiasaan ini diteruskan dalam dunia kerja, baik dunia profesional maupun bisnis.

Tips dan trick memenangkan kompetisi.
Kiat mengalahkan pesaing.
Cara mengetahui strategi Competitor.
Sebelas langkah untuk segera dipromosikan.
Seratus jurus untuk melampaui karir atasan Anda di kantor.

Kepala ini sudah terlanjur terdoktrin tentang dengan hal-hal seperti itu sehingga hampir tidak ada lagi yang berani bertanya : apakah semua ini mutlak benar ? Benarkah segalanya begitu terbatas ? Benarkah hidup ini tidak menyediakan kecukupan untuk semua orang ? Benarkan TUHAN yang sangat tidak terbatas itu sedemikian miskin, sehingga kita ‘ditakdirkan’ harus saling sikut, saling rampas, adu cepat, adu licik, main dukun, sogok sana sini hanya atas nama memenangkan persaingan. Sementara DIA diatas sana berdiri sebagai wasit –sang pengadu domba- mengganjari para pemenang dan menertawai pecundang-pecundang malang.

Kontradiksi dengan semuanya itu. Bukankah sedari kecil kita juga telah sering mendengar pengajaran-pengajaran sebagai berikut :

“Mungkin bukan rejeki kita”
“Sudah menjadi rejeki dia”
“Rejeki itu sudah kita bawa ketika kita lahir”
“Setiap manusia sudah punya rejeki masing-masing”
“Menjemput rejeki”
“Rejeki tidak mungkin tertukar”
“Iri hati kita tidak menambah atau mengurangi rejeki orang lain”

Periksalah seluruh kitab suci di atas muka bumi ini dan temukan sebuah ayat tentang persaingan. Tentang betapa sedikitnya kemampuan TUHAN memberikan rejeki pada umat-NYA. Tentang betapa terbatasnya segala sesuatu. Dari sana kita akan mendapat gambaran yang jauh berbeda dengan dunia yang didalamnya kita sudha bernafas sejak kecil.

Lalu dari mana doktrin ini berasal ? Apakah pendapat dunia sekuler telah begitu mencemari kita ?

Kita tahu bahwa ada dua jenis manusia didunia ini. Mereka yang beriman dan mereka yang berotak. Ini tidak berarti orang-orang beriman tidak memiliki otak sama sekali dikepala mereka, atau begitu juga sebaliknya mereka yang berotak sama sekali tidak memiliki iman dihati mereka. Ini hanya sebuah istilah yang ingin menggambarkan “tentang apa yang mendominasi kehidupan mereka sehari-hari”.

Bagi mereka yang mengagung-agungkan otak, lebih percaya hanya kepada apa yang mereka lihat, alami dan pelajari. Namun kaum beriman –yang seringkali bersandar pada hati- menaruh kepercayaan pada apa yang tidak kasat mata. Janji TUHAN, pahala, dan lain sebagainya.

Kedua golongan ini saling berinteraksi, saling mempengaruhi satu dengan lain. Mungkinkah diktat besar mengenai persaingan kemudian ditandatangani disini, lalu diterima sebagai sebuah kebenaran turun temurun ?

Kita belajar karena ingin menduduki ranking tertentu atau bahkan lebih parah dari itu : karena takut tidak lulus dan takut tidak memenuhi syarat pekerjaan di masyarakat. Hanya segelintir orang yang belajar karena rasa ingin tahu yang tulus.

Ingin mendapat pendapatan atau jabatan yang lebih tinggi. Bisnis yang lebih hebat. Uang yang lebih banyak. Lalu mulai bermanuver, politiking, si-sa-si-ji-sa-si : sikut sana sini, jilat sana-sini. Apakah pendekatan ‘memberikan yang terbaik dan berkarya sehebat mungkin’ sudah terlalu kuno dan kurang efektif lagi ?

Bukankah ‘memperbaiki diri’ adalah salah satu takdir yang harus kita penuhi ? Bahwa orang yang keadaannya sama saja dengan hari kemarin adalah orang-orang yang merugi dan bahwa orang-orang yang keadaannya lebih buruk dari kemarin adalah orang-orang terkutuk ? Sama sekali bukan alasan siapa menang dan siapa kalah. Siapa yang mendapat dan siapa yang terpaksa menyerahkan.

Lalu untuk apa kita belajar, memperoleh gelar Prof, Dr., SH, S. Kom, MBA, MSI, TKW, HIV ? Untuk apa seluruh daya upaya, pengorbanan, keringat, strategi, riset, kreatifitas dan usaha yang telah kita dikerahkan ?

Untuk menggali tambang emas gunung rejeki kita masing-masing !

Itu juga berarti, sama sekali tidak menjadi masalah jika kita saling membantu, saling sokong, saling memberi informasi rahasia, saling menyumbangkan tips dan trik, karena kita tidak sedang berebutan menggali satu gunung rame-rame, tapi yang kita lakukan adalah menggali gunung rejeki kita masing-masing, yang sudah ditentukan TUHAN menjadi bagian kita sejak kita lahir.

Saling jegal ? Buat apa !?
Itu hanya sebuah pemborosan energi yang sudah pasti membuat pekerjaan menambang emas kita masing-masing jauh lebih lambat dari kecepatan sebenarnya. Lebih jauh dari itu, hanya merupakan kegiatan yang mengotori hati nurani dan mengundang hal-hal buruk terjadi pada hidup kita.

Sedikit banyak ini merupakan kabar baik bagi para pencundang, bahwa ternyata masih begitu banyak harapan dalam hidup ini. Sebaliknya merupakan kabar buruk buat mereka-mereka yang selama ini membusungkan dada, karena merasa telah mengalahkan banyak orang dalam hidupnya. Bahwa ternyata kemenangan yang mereka raih adalah palsu. Para pemenang palsu ini berlari kesetanan padahal tidak ada yang mengejar mereka. Menggali membabi buta, padahal yang mereka gali adalah gunung mereka sendiri, yang tidak mungkin diganggu gugat oleh siapapun. Oooh poor fake winner…

Bahkan Sun Tzu dalam strategi perangnya mengatakan secara implisit bahwa musuh yang sebenarnya ada dalam diri kita. Sehingga seorang jenderal perang yang ceroboh, akan terbunuh. Penakut, akan tertangkap. Lekas marah, akan mudah terprovokasi dan mereka yang begitu sensitif akan kehormatan akan dengan mudah dipermalukan. Bukankah itu semua ada dalam diri kita ? Dengan kata lain yang membuat kita terbunuh, tertangkap, marah, dan dipermalukan adalah diri kita sendiri dan sama sekali bukan orang lain. Jadi pemenang sejati adalah mereka yang mengalahkan bagian dari diri mereka yang buruk dan sama sekali bukan mengalahkan orang lain.

Jadi bagaimana membuat persaingan tidak relevan lagi ?

Agak sedikit berbeda dengan pendekatan yang Blue Ocean Strategy tawarkan (ada baiknya jika kita kembali kepada kebenaran awal, takdir mula-mula manusia) bahwa : kau berhadapan dengan gunung rejeki mu dan aku berhadapan dengan gunung rejeki ku.

Otomatis persaingan menjadi sangat tidak relevan lagi.

Apakah perenungan ini valid ? Apakah ini sebuah kebenaran yang terlupakan atau lamunan iseng keblinger dari orang yang baru hidup sepertiga abad ? Semuanya kembali kepada diri kita masing-masing tetapi apapun itu : “Terjadilah sesuai dengan iman mu !!!” atau dalam bahasa lain “TUHAN adalah seperti prasangka hamba-NYA”.

Oh iya ada sesuatu yang hampir saja terlupakan. Mengenai analogi sel sperma dan sel telur diatas.

Mungkin ada baiknya jika kita melihat dari sudut pandang berbeda. Yaitu sudut pandang sel telur. Bahkan satu sel telur tidak perlu merasa kuatir akan sel sperma untuknya, karena TUHAN telah menyediakan berjuta-juta sel sperma, yang tanpa diminta berenang dan berusaha membuahinya.

Pola pandang seperti ini memang cenderung ganjil dan nyeleneh.

Tapi paling lewat pola pandang seperti ini berakibat
hidup menjadi begitu luar biasa,
sesama yang selama ini dipandang sebagai ancaman, berubah menjadi partner yang menyenangkan,
hati yang semula bergejolak dalam pertempuran yang tidak perlu kini mengalir teduh dan
TUHAN dimuliakan karena ketidakterbatasan kemampuan BELIAU menyediakan segala sesuatu untuk semua.

What a wonderfull world !
What an abundance life !!
What an exciting journey !!!

(selesai)
Nb.
Ada profile Made Teddy Artiana di Majalah Human Capital terbaru (edisi 73, April 2010)