Senin, 03 Mei 2010

Kau Dengan Gunung Mu, Aku Dengan Gunung Ku

ditulis oleh Made Teddy Artiana, S. Kom
fotografer, penulis & grafik desainer


“Begitu banyak orang takut akan persaingan. Ini aneh. Karena permulaan kehadiran kita didunia ini dimulai dalam sebuah proses persaingan. Mungkin kita dapat belajar dari sebuah proses pembuahan. Sel sperma yang berjuta-juta itu harus bersaing sedemikian rupa untuk membuahi satu sel telur. Mereka harus berlomba berenang begitu cepat, berebut untuk mengawini satu sel telur tersebut. Dan yang kuat, cepat, tangguh akan keluar sebagai pemenang”

Demikianlah uraian yang berulang kali ku dengar dari salah seorang ulama yang sangat terkenal, guru sekaligus seseorang yang sangat kukagumi. Tapi kalau boleh jujur, aku tidak terlalu sependapat dengannya. Uraian beliau tentang persaingan kuanggap tidak seratus persen benar.

Mengapa ?

Aku dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang memelihara sebuah persaingan sebagai budaya tak terlepaskan dari kehidupan mereka. (Siapa sih yang tidak ? Aku rasa kita semua mengalami nasib yang sama).

Mula-mula di dunia pendidikan. Sebagian besar dari kita terbiasa/terpaksa belajar dan memperoleh prestasi, seolah-olah seperti dalam sebuah arena persaingan. Juara satu, dua dan tiga. Ranking sepuluh besar. Kebiasaan ini diteruskan dalam dunia kerja, baik dunia profesional maupun bisnis.

Tips dan trick memenangkan kompetisi.
Kiat mengalahkan pesaing.
Cara mengetahui strategi Competitor.
Sebelas langkah untuk segera dipromosikan.
Seratus jurus untuk melampaui karir atasan Anda di kantor.

Kepala ini sudah terlanjur terdoktrin tentang dengan hal-hal seperti itu sehingga hampir tidak ada lagi yang berani bertanya : apakah semua ini mutlak benar ? Benarkah segalanya begitu terbatas ? Benarkah hidup ini tidak menyediakan kecukupan untuk semua orang ? Benarkan TUHAN yang sangat tidak terbatas itu sedemikian miskin, sehingga kita ‘ditakdirkan’ harus saling sikut, saling rampas, adu cepat, adu licik, main dukun, sogok sana sini hanya atas nama memenangkan persaingan. Sementara DIA diatas sana berdiri sebagai wasit –sang pengadu domba- mengganjari para pemenang dan menertawai pecundang-pecundang malang.

Kontradiksi dengan semuanya itu. Bukankah sedari kecil kita juga telah sering mendengar pengajaran-pengajaran sebagai berikut :

“Mungkin bukan rejeki kita”
“Sudah menjadi rejeki dia”
“Rejeki itu sudah kita bawa ketika kita lahir”
“Setiap manusia sudah punya rejeki masing-masing”
“Menjemput rejeki”
“Rejeki tidak mungkin tertukar”
“Iri hati kita tidak menambah atau mengurangi rejeki orang lain”

Periksalah seluruh kitab suci di atas muka bumi ini dan temukan sebuah ayat tentang persaingan. Tentang betapa sedikitnya kemampuan TUHAN memberikan rejeki pada umat-NYA. Tentang betapa terbatasnya segala sesuatu. Dari sana kita akan mendapat gambaran yang jauh berbeda dengan dunia yang didalamnya kita sudha bernafas sejak kecil.

Lalu dari mana doktrin ini berasal ? Apakah pendapat dunia sekuler telah begitu mencemari kita ?

Kita tahu bahwa ada dua jenis manusia didunia ini. Mereka yang beriman dan mereka yang berotak. Ini tidak berarti orang-orang beriman tidak memiliki otak sama sekali dikepala mereka, atau begitu juga sebaliknya mereka yang berotak sama sekali tidak memiliki iman dihati mereka. Ini hanya sebuah istilah yang ingin menggambarkan “tentang apa yang mendominasi kehidupan mereka sehari-hari”.

Bagi mereka yang mengagung-agungkan otak, lebih percaya hanya kepada apa yang mereka lihat, alami dan pelajari. Namun kaum beriman –yang seringkali bersandar pada hati- menaruh kepercayaan pada apa yang tidak kasat mata. Janji TUHAN, pahala, dan lain sebagainya.

Kedua golongan ini saling berinteraksi, saling mempengaruhi satu dengan lain. Mungkinkah diktat besar mengenai persaingan kemudian ditandatangani disini, lalu diterima sebagai sebuah kebenaran turun temurun ?

Kita belajar karena ingin menduduki ranking tertentu atau bahkan lebih parah dari itu : karena takut tidak lulus dan takut tidak memenuhi syarat pekerjaan di masyarakat. Hanya segelintir orang yang belajar karena rasa ingin tahu yang tulus.

Ingin mendapat pendapatan atau jabatan yang lebih tinggi. Bisnis yang lebih hebat. Uang yang lebih banyak. Lalu mulai bermanuver, politiking, si-sa-si-ji-sa-si : sikut sana sini, jilat sana-sini. Apakah pendekatan ‘memberikan yang terbaik dan berkarya sehebat mungkin’ sudah terlalu kuno dan kurang efektif lagi ?

Bukankah ‘memperbaiki diri’ adalah salah satu takdir yang harus kita penuhi ? Bahwa orang yang keadaannya sama saja dengan hari kemarin adalah orang-orang yang merugi dan bahwa orang-orang yang keadaannya lebih buruk dari kemarin adalah orang-orang terkutuk ? Sama sekali bukan alasan siapa menang dan siapa kalah. Siapa yang mendapat dan siapa yang terpaksa menyerahkan.

Lalu untuk apa kita belajar, memperoleh gelar Prof, Dr., SH, S. Kom, MBA, MSI, TKW, HIV ? Untuk apa seluruh daya upaya, pengorbanan, keringat, strategi, riset, kreatifitas dan usaha yang telah kita dikerahkan ?

Untuk menggali tambang emas gunung rejeki kita masing-masing !

Itu juga berarti, sama sekali tidak menjadi masalah jika kita saling membantu, saling sokong, saling memberi informasi rahasia, saling menyumbangkan tips dan trik, karena kita tidak sedang berebutan menggali satu gunung rame-rame, tapi yang kita lakukan adalah menggali gunung rejeki kita masing-masing, yang sudah ditentukan TUHAN menjadi bagian kita sejak kita lahir.

Saling jegal ? Buat apa !?
Itu hanya sebuah pemborosan energi yang sudah pasti membuat pekerjaan menambang emas kita masing-masing jauh lebih lambat dari kecepatan sebenarnya. Lebih jauh dari itu, hanya merupakan kegiatan yang mengotori hati nurani dan mengundang hal-hal buruk terjadi pada hidup kita.

Sedikit banyak ini merupakan kabar baik bagi para pencundang, bahwa ternyata masih begitu banyak harapan dalam hidup ini. Sebaliknya merupakan kabar buruk buat mereka-mereka yang selama ini membusungkan dada, karena merasa telah mengalahkan banyak orang dalam hidupnya. Bahwa ternyata kemenangan yang mereka raih adalah palsu. Para pemenang palsu ini berlari kesetanan padahal tidak ada yang mengejar mereka. Menggali membabi buta, padahal yang mereka gali adalah gunung mereka sendiri, yang tidak mungkin diganggu gugat oleh siapapun. Oooh poor fake winner…

Bahkan Sun Tzu dalam strategi perangnya mengatakan secara implisit bahwa musuh yang sebenarnya ada dalam diri kita. Sehingga seorang jenderal perang yang ceroboh, akan terbunuh. Penakut, akan tertangkap. Lekas marah, akan mudah terprovokasi dan mereka yang begitu sensitif akan kehormatan akan dengan mudah dipermalukan. Bukankah itu semua ada dalam diri kita ? Dengan kata lain yang membuat kita terbunuh, tertangkap, marah, dan dipermalukan adalah diri kita sendiri dan sama sekali bukan orang lain. Jadi pemenang sejati adalah mereka yang mengalahkan bagian dari diri mereka yang buruk dan sama sekali bukan mengalahkan orang lain.

Jadi bagaimana membuat persaingan tidak relevan lagi ?

Agak sedikit berbeda dengan pendekatan yang Blue Ocean Strategy tawarkan (ada baiknya jika kita kembali kepada kebenaran awal, takdir mula-mula manusia) bahwa : kau berhadapan dengan gunung rejeki mu dan aku berhadapan dengan gunung rejeki ku.

Otomatis persaingan menjadi sangat tidak relevan lagi.

Apakah perenungan ini valid ? Apakah ini sebuah kebenaran yang terlupakan atau lamunan iseng keblinger dari orang yang baru hidup sepertiga abad ? Semuanya kembali kepada diri kita masing-masing tetapi apapun itu : “Terjadilah sesuai dengan iman mu !!!” atau dalam bahasa lain “TUHAN adalah seperti prasangka hamba-NYA”.

Oh iya ada sesuatu yang hampir saja terlupakan. Mengenai analogi sel sperma dan sel telur diatas.

Mungkin ada baiknya jika kita melihat dari sudut pandang berbeda. Yaitu sudut pandang sel telur. Bahkan satu sel telur tidak perlu merasa kuatir akan sel sperma untuknya, karena TUHAN telah menyediakan berjuta-juta sel sperma, yang tanpa diminta berenang dan berusaha membuahinya.

Pola pandang seperti ini memang cenderung ganjil dan nyeleneh.

Tapi paling lewat pola pandang seperti ini berakibat
hidup menjadi begitu luar biasa,
sesama yang selama ini dipandang sebagai ancaman, berubah menjadi partner yang menyenangkan,
hati yang semula bergejolak dalam pertempuran yang tidak perlu kini mengalir teduh dan
TUHAN dimuliakan karena ketidakterbatasan kemampuan BELIAU menyediakan segala sesuatu untuk semua.

What a wonderfull world !
What an abundance life !!
What an exciting journey !!!

(selesai)
Nb.
Ada profile Made Teddy Artiana di Majalah Human Capital terbaru (edisi 73, April 2010)

7 komentar:

  1. Oleh karena itulah, persaingan
    terbaik dan terindah adalah,
    "Fastaabiqul khooirot..."

    Salam kenal ^^

    [sherlanova.blogspot.com]

    BalasHapus
  2. Salam kenal mas Made,,,,,

    sangat menyenangkan isinya :))

    BalasHapus
  3. Salut mas tulisannya.
    Hebat euy ....

    BalasHapus
  4. Logika dan Argumentasinya luar biasa, menambah khasazanah intelektual saya. Thanks

    BalasHapus
  5. Sebenarnya sperma itu tidak bersaing coba tanya pada mereka,mereka bekerjasama untuk membuat sel telur terbuahi yang lain harus rela mati demi tercapainya tujuan tersebut karena kondisi rahim yg asam harus dinetralkan dulu dengan jutaan sperma yg bersifat basa. Lalu untuk apa kita bersaing bukankah lebih baik kita bekerjasama,persaingan melahirkan pecundang & pemenang sedang kerjasama melahirkan 100% pemenang,karena menciptakan win-win solution.

    BalasHapus
  6. salam kenal mas..

    Kalau boleh kasih pendapat...
    Tidak ada persaingan untuk mendapatkan rejeki..yang ada adalah membesarkan diri kita untuk menampung rejeki yang datang tanpa henti. Kita diibaratkan wadah yang menampung air Hujan (rejeki) kalau wadahnya kecil tentu saja banyak air hujan yang tidak bisa ditampung. Tetapi kalau wadahnya kita perbesar maka semakin banyak air hujan yang dapat di tampung.

    Kita bukan mengejar rejeki tetapi malah sebaliknya kita dikejar-kejar rejeki...tinggal berbalik arah dan siapkan wadah yang besar untuk menampungnya.

    BalasHapus
  7. sangat inspiratif Mas Made..
    mohon ijin untuk share yaa..

    BalasHapus