Rabu, 29 September 2010

Eat, Pray & Love

oleh Made Teddy Artiana, S. Kom
fotografer, penulis & event organizer



Novel karya Elizabeth Gilbert ini memang terbilang sangat sukses. Bukan hanya karena telah bertengger diperingkat pertama bestseller New York Times selama beberapa minggu, namun juga karena versi film dari novel inipun telah dibuat,bahkan sudah beredar diberbagai negara, walaupun di Indonesia belum. Pemeran wanitanyapun tidak tanggung-tanggung, Julia Roberts ! Artis papan atas Holywood.

(Aku dan crew kami, yang kebetulan saat itu juga sedang ada pemotretan di Bali pun, menyempatkan diri untuk berkunjung ke sekitar Monkey Forest, saking inginnya hati ini menyaksikan proses shoting Mbak Julia.)

Satu hal yang paling membanggakan dari novel itu adalah terangkatnya nama Indonesia, atau lebih tepatnya Bali sebagai salah satu tempat terpenting dalam novel tersebut. Sebuah promosi pariwisata gratis tentunya. Kabarnya ini membuat nama Indonesia semakin dikenal di Amerika sana, sehingga Presiden SBY pernah secara terbuka menyampaikan kebanggaan hatinya dengan keberadaan film tersebut.

Terlepas dari itu semua -Eat, Pray & Love- bagiku pribadi berbicara tentang tiga kebutuhan yang tak tergoyahkan dari setiap manusia dalam kehidupan yaitu : makanan (fisik), TUHAN (spiritual) dan cinta (eksistensi). Kehilangan satu saja dari tiga hal itu tentunya berdampak serius bagi manusia siapapun dan dimanapun ia berada.

Bagi Sang Penulis, Eat, Pray & Love secara tidak langsung juga mengacu pada pengalaman pribadinya pada tiga negara yang letaknya terpisah dipenjuru dunia. Eat, di Italia, yang memang terlanjur terkenal dengan makanannya yang lezato. Lalu Pray, di India yang memang dikenal akan tradisi meditasi dan yoganya. Kemudian Love di Indonesia, nah ini yang sedikit unik.

Kalau boleh jujur, sebenarnya ada perasaan sedih dihati ku, terlebih ketika melihat keadaan nyata di sekitar bangsa ini. Apa Elizabeth tidak keliru ? Jangan-jangan Sang Penulis tidak paham benar apa yang sedang terjadi di negara ini. Adakah penemuan cinta di Indonesia ini hanya sindiran belaka ? Adakah cinta memang mudah ditemukan di Indonesia ? Apakah bangsa kita ini memang jadi tempat inspiratif untuk memahami arti cinta ?

Apakah cinta memang terlukiskan diwajah oknum politisi-politisi di Senayan sana yang terlalu sering begitu dekat dengan issue miliaran rupiah ? Dari mulai kantor yang baru, kolam renang baru, ribut-ribut kenaikan tunjangan, ongkos gertak sambal Century hingga kepada biaya perjalanan dinas ?

Atau mungkin cinta ada di rekening gendut para oknum pejabat yang konon bercokol di kejaksaan agung, polisi, pajak dan tempat-tempat strategis lain, yang kabarnya persekongkolannya lebih rapi dari kaum mafia ?

Jelas mereka semua sama. Setali tiga uang ! Tebal muka, tidak tahu malu dan sama sekali tidak tergetar hatinya dengan kemiskinan rakyat. Mereka-mereka yang mengaku ber-TUHAN tapi dalam setiap gerak nafas hidupnya menista nama TUHAN ! Mereka-mereka yang merasa akan masuk surga, hanya dengan menyuap TUHAN dengan sedekah uang haram.

Atau rasa cinta di antara para calon presiden yang tidak terpilih dengan yang terpilih ? Sehingga yang tidak terpilih minimal akan menjadi opsisi yang jujur atau teman sekerja yang tulus.

Atau cinta juga nyata pada perang terbuka antara petugas dan teroris yang tak kunjung usai ? yang membuat tak terbilang air mata dari ibu, ayah, istri dan anak yang tumpah ? Dimana setiap tetesan yang terjatuh, mengeraskan nurani dengan dendam kesumat. Lingkaran setan yang tak kunjung usai.

Atau pada banjir, macet dan seluruh janji-janji yang dianggap gombal yang pada akhirnya menimbulkan umpatan caci maki (atau bahkan doa yang buruk) warga Jakarta terhadap Sang Pejabat yang sampai saat ini masih berkeras mengaku ‘ahli’ ?

Atau sekian tak terhitungnya jumlah demo –baik bayaran atau tidak- yang begitu membiasa menghiasi Jakarta bak pawai tujuh belasan ?

Atau diantara peperangan aparat dengan ratusan orang penjaga makam yang berujung pada tindakan sadis pembunuhan dan pembakaran ?

Adakah cinta di Bekasi sana, saat dua golongan agama yang sama-sama merasa paling benar, paling suci, paling berhak untuk masuk surga, paling mewakili TUHAN namun gagal membereskan persoalan mereka dengan cara surgawi ?

Atau mungkin diantara tawuran pelajar dengan pelajar lain dijalanan, mahasiswa yang merusak kampusnya sendiri ?

Sungguh daftar panjang yang melelahkan hati.

Berandai-andai dengan semua fakta diatas, jika Saja Penulis buku Eat, Pray & Love menyempatkan diri lebih lama lagi berada dinegeriku, besar kemungkinan ia mengungsi mencari negara lain yang lebih masuk akal untuk menemukan cintanya disana. Karena pemilihan Indonesia, sepertinya sangat kurang tepat. Karena jangankan Elizabeth, kami –yang sudah lahir, tinggal dan menua di negeri ini pun- terlanjur tergoda dan menganggap cinta sebagai komoditas sangat mahal di negera kami sendiri. Sama sekali bukan hal yang begitu mudah ditangkap baik dengan mata terbelalak, apalagi dengan mata tertutup dan sekali comot. Semoga saja aku keliru, dan Elizabeth Gilbert yang benar.

Karena itu ada baiknya kita mulai berdoa, mungkin bukan dengan kebencian dan rasa dendam ataupun tawarnya rasa pesimis akan keadaan di negeri ini. Semoga TUHAN masih menyisakan dan akan terus membangkitkan orang-orang jujur dan tulus hati di negeri ini. Sebuah generasi yang hatinya dipenuhi rasa takut akan nama-NYA. Mereka yang mengasihi bangsa, negara dan rakyatnya. Yang bersungguh-sungguh mencintai istri, suami, anak, rumah tangga, orang tua, dan sesamanya. Orang baik yang kehadirannya membaikkan keadaan. Wakil-wakil TUHAN yang menyebarkan cinta dan menjadi rahmat. Sama sekali bukan kebengisan, kearoganan dan kemunafikan, yang sebenarnya jelas-jelas adalah ciri khas setan.

Sehingga suatu saat nanti, setiap jengkal tanah di Indonesia Raya, menjadi tempat inpiratif yang sungguh-sungguh layak dan nyata bagi siapapun untuk bertemu dengan cinta. Yang berarti pula, bertemu dengan TUHAN, Sang Raja. Karena dimana ada cinta yang tulus, disana IA hadir dan bertahta (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar