The Age of Paradox : How Flexible Can You Go?
Oleh : Made Teddy
Artiana, S. Kom
“Dokter semakin banyak, rumah sakit semakin banyak, teknologi kedokteran semakin canggih, namun mengherankan jumlah orang sakit dan jenis penyakit semakin banyak”.
Seorang owner sebuah rumah sakit swasta pernah berkata demikian kepadaku. Believe it or not memang. Tapi demikianlah kenyataan di lapangan.
Jika direnungkan
lebih jauh, pernyataan diatas punya kesamaan dengan pendapat segolongan
pengamat terhadap perkembangan gadget dewasa ini. “Mendekatkan yang jauh,
menjauhkan yang dekat”. Pernah menyaksikan dua orang suami-istri duduk
bersebelahan, tanpa bicara sepatah katapun, namun asyik bergadget-ria dengan
teman masing-masing yang berada bermil-mil jauhnya dari mereka?
Keduanya memuat
sebuah paradox. Sesuatu kenyataan yang berlawanan atau bertolak belakang. Itu baru sebagian kecil paradox yang terlihat
disekitar kita. Seandainya saja kita punya waktu untuk memperhatikan, kita akan
sangat terkejut. Namun sayang teknologi yang seharusnya membuat hidup kita mudah, justru berbalik, memakan waktu, bahkan
mengejar kita bak anjing gila. 24 jam sehari, rasa kurang.
Adalah seorang
Charles Handy, penulis puluhan buku management dan bisnis, diantaranya The Age of Unreason (1989) dan The Age of Paradox (1995), yang sangat
fenomenal itu. Bahkan saking fenomenalnya, konon kedua buku tersebut adalah
bacaan wajib bagi mereka yang mengambil program doktoral.
“Life will never be easy, or predictable, or
completely predictable. It will be best understood backward, but we have to
live forward. To make it liveable, at all levels, we have to use the paradoxes-to
balance contradictions and inconsistencies..”
Jelas bahwa
dunia memang memasuki era baru (turbulent
era), dimana pengalaman-pengalaman nyaris berhenti menjadi guru yang baik. Apalagi dari sekolah dasar kita dicekoki dengan prinsip : Pengalaman adalah guru yang baik. Nah bagaimana dengan sekarang, jika sebagian besar pengalaman menjadi tidak relevan, tidak masuk akal dan tidak logis? Padahal database kita selama ini selalu penuh diisi oleh sesuatu bernama : pengalaman.
Jadi telah tiba saatnya dimana kita yang selama ini mengandalakan memory
(ingatan), mulai belajar menggunakan imajinasi.
Alvin Toffler,
mengatakannya jauh-jauh hari, dengan cara tidak jauh berbeda dalam Future Shock (1984). Misalnya dalam hal
perkembangan teknologi.
“Our technological powers increase, but the
side effects and potential hazards also escalate.”
Dalam dunia investasi, Charles Buffet mengatakannya
dengan setengah bergurau ;)
“Be fearful when others are greedy and greedy when others are fearful
Lalu apa yang
bisa kita lakukan dalam keadaan seperti ini? Bagaimana manusia dapat bertahan,
bahkan menang dalam era ‘liar’ seperti ini? Dimana perubahan bukan hanya suatu hal
dalam hidup, namun adalah hidup itu sendiri.
Dalam sebuah sesi
persiapan menjadi instruktur Yoga yang tengah rutin ku jalani, aku menemukan
jawabannya.
“Fleksibelitas adalah hal urgent bagi
kesehatan,” demikian ia bertutur,”fleksibelitas bukan soal seberapa heboh Anda sanggup
meliukkan badan secara akrobatik, namun fleksibel memuat issue penting : yaitu
peregangan, darah yang mengalir lancar, oksigen yang menyebar keseluruh tubuh,
pembuluh limfe yang bergerak tanpa hambatan membunuh penyakit dan mengangkut
racun, yang kesemuanya adalah unsur penting dalam sebuah kesehatan”.
Kata kuncinya adalah :
fleksibelitas. Jika berbicara kata “adaptasi” semua orang hampir sepakat bahwa “kreatifitas”
memegang peranan disana. Apapun bidang yang kita tekuni, fleksibelitas adalah
mantra sakti yang akan menjadi semakin sakti dikemudian hari. Tidak mengherankan
jika kemudian Daniel H Pink, penulis a
Whole New Mind (2006) kemudian dengan berani mengatakan bahwa era ini akan
dikuasai oleh mereka-mereka yang tidak hanya berotak, namun terlebih kepada
mereka yang berotak kanan. Bukan pada logika semata-mata, melainkan pada ayunan liar intuisi.
Selamat melatih fleksibelitas
Anda masing-masing. NAMASTE J
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar