Sabtu, 27 Agustus 2011

Letakkan Sejenak Gelas di Tanganmu

Oleh : Made Teddy Artiana


Lelaki itu mengangkat gelas berisi air di tangannya. Mengambang di udara. Sementara, sekian banyak orang di hadapannya tampak mengisyaratkan ketidakmengertian. Para pendengar memilih untuk bersabar. Menunggu dalam diam. Tidak ada yang terjadi, selain gelas yang terangkat dan mata yang tertuju ke gelas itu. Namun, beberapa saat kemudian sesuatu mulai terjadi. Kepalan tangan laki-laki itu tampak semakin erat. Gelas dan air mulai bergetar. Perlahan tapi pasti, getarannya bertambah kuat. Urat tangan kian terlihat jelas bermunculan. Gelas itu berguncang hebat dan air yang mengisinya mulai tumpah. Hingga kemudian...tangan lelaki itu terkulai...prang!! Gelas lepas dari genggaman, dan berkeping-keping menumbuk lantai.

“Beban seringan apapun, jika terus-menerus dipegang, akan menjadi beban yang tidak sanggup kita tanggung”, ujar laki-laki bijak itu dengan tenang namun sangat serius. Stephen Covey, sang pencetus “Seven Habits” sedang ingin mengajarkan tentang sesuatu.

Jeffrey Rahmat, seorang pembicara dan pengajar dalam hal-hal praktis dan bisnis dari sudut rohani kristen, pernah berkata kepadaku. “Segala sesuatu mempunyai kapasitasnya sendiri-sendiri. Dan apapun, yang digunakan melewati kapasitasnya akan macet, tidak berjalan dan rusak”. Ia mengambil lift sebagai salah satu contoh. Dalam setiap lift tentu kita menjumpai sebuah petunjuk tentang seberapa “kuat” benda itu mampu mengangkat beban. Jika overweigth, maka dapat dipastikan ia tidak akan beroperasi, rusak bahkan bukan tidak mungkin, putus dan hancur.

Jamil Azzaini, sahabat, guru dan panutan bagi banyak orang. Salah seorang yang kuanggap sebagai penterjemahku dalam memahami dunia islam yang mulia, mengatakannya dengan cara lain. “Hidup dan pengejaran kita terhadap cita-cita dan sukses mulia, kadang terasa bagai arena balapan mobil. Dimana disalah satu kesempatan, semua itu mengharuskan kita untuk memasuki sesuatu bernama Pitstop. Sebuah fase dimana mobil, “beristirahat sesaat” lalu dicek segala sesuatunya, sebelum kemudian digunakan kembali.

Lalu Gede Prama, seorang Rsi di dunia modern, mengajarkan tentang “memberi kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Sang Diri”. Menemukan dan menikmati hidup yang sesungguhnya dalam alam, diri dan TUHAN.

Keempat orang bijak itu tengah berbicara hal yang sama : Hukum Kapasitas.

Bahwa segala sesuatu memiliki kapasitasnya sendiri-sendiri, tak terkecuali manusia. Hati, pikiran dan tubuh kita memiliki kapasitas. Dan pengejaran kita –entah terpaksa untuk sekedar bertahan hidup atau memang disengaja, karena sebuah cita-cita- membuat kita seperti berada dalam sebuah arena balap. Semuanya tak jarang membuat manusia termuati melebihi kapasitas yang seharusnya.

Uniknya, tidak banyak dari kita sadar akan hal itu. Kita sibuk dan disibukkan oleh sekitar. Hingga tidak tersisa waktu, untuk sekedar bercakap-cakap dengan diri sendiri, apalagi Sang Pencipta. Kontemplasi yang adalah kebutuhan dianggap aneh dan hanya porsi para Rsi.

Kita terlalu takut untuk meletakkan sejenak gelas di tangan kita. Mungkin kita kuatir ada seseorang yang akan menyambar gelas itu, begitu diletakkan. Mungkin kita merasa segala kesibukan itu demikian berarti hidup-mati, sorga-neraka buat kita. Atau bisa jadi kita mengganggap tidak cukup waktu untuk melakukan hal-hal yang tampak remeh, untuk me-refresh diri. Tidak ada yang sadar pasti tentang keadaan diri masing-masing. Mungkin hanya TUHAN, Malaikat dan Setan yang tahu, sementara kita sendiripun terkurung kesibukan.

Satu hal yang pasti : gelas itu, jika tidak diletakkan pasti akan jatuh dan hancur berkeping-keping.

Happy weekend guys...(*)

I "Still" Believe I Can Fly !!

by Made Teddy Artiana


Wanita yang mengalami pendarahan hebat setelah melahirkan itu, kini terbujur nyaris kaku. Bayinya selamat, namun ia sendiri sekarat. Terjebak diantara dua dunia. Telah beberapa hari dilewatinya dalam keadaan koma, tak sadarkan diri. Tubuh dingin membeku. Wajah pucat membiru. Sementara bibir yang telah lebih dulu membiru itu, kini tampak memutih, nyaris sama putih dengan dinding ICU di Rumah Sakit itu.

Suasana ruangan itu memang tidaklah terlalu sunyi, namun sangat mencekam. Denyut jantung terdengar lemah, diantara isak tertahan. Ayah, ibunda, dan seluruh keluarga yang sudah kehabisan air mata dan doa, menunggu pasrah. Semua kepala tertunduk dengan mata-mata bengkak sembab karena lelah menangis. Tak ada yang dapat dilakukan, selain menunggu. Setidaknya jika hal itu terjadi, mereka ada disini. Menemani saat-saat terakhirnya.
Team dokterpun sudah menyampaikan kata-kata pamungkas mereka : “Kami sudah berusaha dengan sebaik mungkin, akan tetapi...”. Seolah dalam sebuah persidangan, keputusan akhir telah ditetapkan, tinggal ketukan palu penutup.

Pada saat-saat inilah tampak jelas garis kedaulatan Sang Pencipta. Manusia boleh meminta apa saja, tetapi TUHAN, yang akan menentukan apa yang harus terjadi.
Dan sesuatu itupun terjadi..

Jari jemari wanita itu bergerak lemah. Hampir tak terlihat. Namun mata hati seorang Ibu, mampu menangkapnya.

“Lina..bergerak !!!”, teriak Ibunda. Seketika itu semua orang yang ada disana terperanjat. Semua memperhatikan jari-jemari Lina. “Iyaaa..dia bergerak !!!”, teriak Sang Adik dengan mata sembab,”Dokterrr....!! Dokter..!!! Kak Lina dokterrrr..!!”. Ia menghambur keluar ruangan mencari dokter. Linapun membuka matanya perlahan. Lingkaran kerabat yang tadi mengurubung itu, sekarang memberi jalan team dokter yang telah tiba diruangan.
“Selamat siang, Lina”, ujar lembut salah seorang dokter sembari tersenyum, “Welcome back, Madame”. Lina terdiam, menatap lurus kedepan.

Hanya dalam hitungan jam, Linapun seutuhnya sadar. Beberapa kali Dokter masuk keluar memeriksa keadaannya. “Alhamdulilah, keadaan Lina membaik. Semakin membaik”.
Keesokan harinya, seolah diperintah oleh sesuatu, ketika terbangun Lina segera meminta Black Berry nya. Mereka saling berpandangan tak mengerti, namun Ibunda Lina memberikan isyarat agar mereka mengabulkan permintaan Lina. Dengan tak sabar Lina meraih benda itu dari adiknya, sepertinya ada yang ia cari. Matanya terpaku sejenak. Tampak jelas ia menemukan sesuatu disana. Wanita perkasa yang telah mengarungi berbagai badai kehidupan yang luar biasa itu pun mulai menangis. Sementara keluarganya hanya bisa terpaku diam menyaksikan tingkah Lina. Ada apa gerangan ?

Dengan bibir tergigit dan pipi yang dibiarkan basah kuyub oleh air mata, jemari Lina gemetar mengetik kalimat demi kalimat.

“Kalian tahu, kata mereka sudah 4 hari lebih aku koma. Aku hampir menyerah. Aku menyesal kembali ke dunia ini lagi. Tapi entah mengapa, aku ingin melihat kalian dan ketika membaca tulisan status kalian, air mata ini tumpah. Tiba-tiba, aku mengingat percakapan kita dulu : bahwa manusia dilahirkan membawa misi. Bahwa kita, manusia ditakdirkan untuk menang atas segala persoalan hidup. Ini pertama kalinya aku menangis setelah sadar. Air mata ini untuk kalian. Aku harus hidup!!”.

Lalu mengirimkan pesan itu kepadaku dan istriku.

Pesan dari Kuala Lumpur itupun kami sambut dengan air mata. Kami memang sedang berdoa siang malam untuknya. Kami tahu ia tengah bertarung hidup dan mati disana. Kami memang berjanji mengunjunginya setelah melahirkan, tetapi kesibukan menahan langkah kami di Jakarta. Dan entah karena apa, hari itu wajah Lina nampak lekat dipikiran kami. Lalu tanpa sengaja aku menuliskan status ‘I Believe I Can Fly’ di BB ku.

Dan selanjutnya –cerita ini kami dengar sendiri dari orang tua Lina- dalam pelukan Ibunda tercinta, dan derai air mata, Lina berteriak sekuat tenaga. Sebuah deklarasi bak sangkakala di medan perang : “Aku harus hidup Ma..! Aku harus merawat anak-anakku ! Mereka membutuhkan aku !!”
(*)

Sebuah "Tapa Bratha Nyepi" yang Tak Disengaja


by Made Teddy Artiana



Bagi mereka yang belum pernah melewatkan malam nyepi di Bali, maka hari ini adalah hari tergelap dan tersunyi di Bali.
Seluruh lampu diseluruh penjuru Bali padam, tidak boleh ada seorangpun keluar rumah dan bunyi-bunyianpun dilarang..

Catatan ini kutulis dalam gelap gulitanya malam Nyepi. Ketika mata ini tidak juga dapat terpejam, meskipun malam sudah sangat larut.

Sama sekali bukan karena aku tidak terbiasa tidur dalam gelap, namun karena kegelapan yang sekarang sedang menaungi seluruh Bali ini sungguh-sungguh bermakna “gelap” dalam arti sebenar-benarnya. Tidak ada cahaya manapun yang sanggup menuntun mata ini untuk sekedar menghibur hati.

Karena kegelisahaan ini semakin menjadi-jadi, kuputuskan untuk membangunkan kembali laptop tercinta...that’s what friends are for.

Aku tidak sedang melakukan Tapa Bratha, yang memang dilakukan oleh saudara-saudaraku umat Hindu pada saat malam, di Hari Raya Nyepi. Tidak bisa tidur, hanya itu persoalanku. Dan dalam kegelapan yang benar-benar pekat ini, agak susah membedakan apakah mata ini sudah terpejam, ataukah memang belum terpejam. Hampir tidak ada bedanya. Karena memang sama-sama hitam pekat.

Entah mengapa, tiba-tiba saja aku merasa sangat tidak berdaya. Jangankan makan, untuk berjalanpun jadi tidak seleluasa dulu. Beberapa insiden menjengkelkan melengkapi nya. Benjut karena terantuk kursi makan, itu yang pertama. Kemudian betapa sulitnya menggunakan senter menemukan dimana aku meletakkan kameraku tadi. Lalu yang tidak kalah menjengkelkan adalah BB yang tidak sengaja tertendang olehku.
Dan konyolnya lagi..sedari tadi aku berusaha keras membesarkan mata ini selebar-lebarnya..hanya untuk melihat telapak tanganku sendiri...mudah ditebak : gagal maning..Son..gagal maning.

Kegelapan membuat kita merasa tidak berdaya. Mirip dengan keterbatasan yang kerap kali membuat kita terdiam pasrah, tidak tahu harus berbuat apa. Kendali yang kita kira tergenggam erat ditangan ini ternyata semu belaka. Ternyata, dalam gelap kita semua bagaikan orang-orang bodoh yang begitu bingung ingin berbuat apa.
Agaknya kegelapan juga mengandung kesamaan yang demikian kuat dengan kehidupan. Keterbatasan yang sama. Ketidaktahuan serupa. Sehingga tidak ada seorangpun yang tahu apa yang akan terjadi nanti. Hendak kemana hidup dan kehidupan ini bergerak. Bahkan, apakah kita masih bernyawa dalam satu menit kedepan pun, tidak ada satu orang hebatpun dapat memastikannya.

Ternyata kita semua berdiri dalam gelap. Bodoh dan tidak tahu apapun !

Sangat mengherankan jika selama ini kita merasa tahu segalanya. Membusungkan diri atas nama pengejaran atas segala ambisi, seolah-olah masa depan itu adalah milik kita. Seolah-olah adalah sebuah kepastian, bahwa semua kerja susah payah kita itu akan kita nikmati dikemudian hari. Seolah-olah kita penguasa kehidupan kita sendiri, padahal we know nothing about our future ! Hanya kemarin yang kita miliki, sementara detik pertama setelah sekarang adalah misteri.

Aku jadi teringat sebuah untaian syair seseorang yang kurang lebih berbunyi demikian : “Suruhlah terang dan kesetiaan Mu itu datang, supaya aku dituntun dan dibawa ke gunung Mu yang kudus.”

Betapa benarnya syair tersebut.

Dalam kegelapan, ketidatahuan dan misteri hari depan ini, kita sangat membutuhkan terang dan kesetiaan Sang Khalik untuk dapat berjalan. Terang, karena memang tanpanya kita akan selalu berjalan dalam gelap gulita kesana kemari tak tentu arah. Kesetiaan, karena memang dibutuhkan kesabaran ilahi untuk menuntun orang-orang seperti kita ini. Orang-orang buta sombong yang tidak pernah menyadari kebutaannya.

(.....menarik nafas panjang.....)

Kini saatnya menghentikan tulisan ini lalu bersujud penuh kesadaran dihadapan Dia Yang Maha Tahu, sambil berbisik memohon : “Suruhlah terang dan kesetiaan Mu itu datang, supaya aku dituntun dan dibawa ke gunung Mu yang kudus”.

Terima kasih TUHAN untuk sebuah malam magis yang luar biasa ini..setidaknya aku belajar banyak justru dalam kegelapan. Disaat sepasang mata lahiriah kesulitan untuk melihat, maka mata hatipun mengambil alih tugas tersebut.(*)

“Aku harus bayar berapa sih untuk tidur sama kamu !?”


by Made Teddy Artiana





Terus terang aku penasaran, apa coba reaksi orang mendengar pertanyaan diatas ? pastinya beragam.

Jika almarhum Jus Badudu (pembawa acara Bahasa Indonesia di TVRI zaman doeloe) masih ada, tentu beliau menjawab: tergantung siapa subjek, predikat, objek dan keterangan tempat dan waktu yang menyertainya. Always EYD..hehehe..tapi jelas beliau ada benarnya J

Pertanyaan ini terasa agak menggelikan, ketika berasal dari seorang istri yang saking jengkelnya dengan sang suami yang karena terlalu sibuk mengurusi bisnisnya, sampai-sampai hampir tidak pernah tidur di rumah. Sehingga istri tersebut merasa perlu untuk membayar suaminya yang pecicilan, hanya untuk sekedar ‘diam’ di rumah.

Namun reaksinya jelas berbeda, ketika seorang wanita yang sama sekali tidak kami kenal, menelpon Wida, istriku, lalu meminta bantuan untuk menyuruh teman SMP nya, yang kebetulan laki-laki, yang juga tidak pernah kami kenal, untuk berhenti mengganggu wanita ini, dengan pertanyaan kasar diatas. (Sejauh ini kami percaya dia salah alamat)

Yang paling seru dan dahsyat, adalah jika pertanyaan ini datang dari seorang wanita, kawan lama atau kenalan, yang pada suatu saat menatap kita, para lelaki anugerah bagi kaum wanita ini, demikian serius, lalu tanpa ragu sedikitpun bertanya dengan wajah memelas : “Aku harus bayar berapa sih untuk tidur sama kamu !?”

Dijamin, laki-laki paling paling hidung belang sekalipun, tentu akan terdiam takjub sesaat mendengar pertanyaan tersebut. Ha..ha..ha..ha..

Tapi dipikir-pikir..pertanyaan kurangajiiiarrr diatas menarik juga. Kata ‘berapa’ dan ‘bayar’ serta merta mengacu pada ‘harga’.

Segala sesuatu memang memiliki harganya masing-masing. Bahkan sesuatu yang terlihat tidak berharga sekalipun, bisa jadi akan menjadi demikian berharga jika ditempatkan disuatu waktu dan tempat tertentu. Air dipadang gurun. Garam dihutan. Kerikil waktu dikejar anjing. Kecoak buat ikan Arwana.

Nah, jika itu terjadi pada benda atau binatang, tentu hal yang sama dapat diberlakukan kepada kita, manusia. Dan tiga contoh nyeleneh diatas, sedikit banyak dapat menggambarkan hal tersebut, bahwa : kita semua punya harga.

Pembicara punya harga. Fotografer punya harga. Dosen, anggota DPR, dokter, office boy, apalagi PSK..pastinya punya harga. Tetapi bukan ‘harga’ dalam arti sesimpel itu tentunya. Harga yang dimaksud, adalah harga manusia, yang berkaitan dengan hidup ini dan tentunya siapa Pencipta-nya.

Disana justru letak permasalahannya. Persoalannya, kita tahu gak sih harga kita ? Dan seandainya saja tahu, berapa sih kita hargai diri kita ini ?
Untuk itu, sebuah karya fenomenal dari Victor Hugo terasa sangat mewakili, Les Miserable, yang telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Itu produk asing, berhubung kita harus mencintai ‘ploduk-ploduk dalem negri’, aku lebih memilih sebuah uraian dari Jeffrey Rahmat, yang aku anggap sangat mewakili harga manusia.

Jeffrey Rahmat, seorang pembicara di dunia business, yang kebetulan pendeta, dalam sebuah seminar yang aku hadiri, pernah berkata demikian : “TUHAN, Sang Pencipta sangat tahu betapa berharganya manusia itu, karena memang manusia diciptakan menurut gambar/peta Ilahi milik-NYA. Setan,Iblis,demit dan golongannya pun tahu persis kebenaran itu, karenanya mereka berusaha memanipulasi harga manusia. Satu-satunya yang bego, yang tidak tahu hal tersebut adalah kita, para manusia itu sendiri !!”.

Bagiku, sejauh orang itu beragama, uraian Jeffrey Rahmat adalah singkat, tepat, jelas. Karena memang bagi orang tak ber-TUHAN, konteks harga manusia..adalah price..fee..cost..hanya sekedar materi. Pikiran-pikiran seperti inilah yang akan melahirkan pertanyaan sontoloyo : “Aku harus bayar berapa sih untuk tidur sama kamu !?”

Tetapi menurut Kitab Suci..

Kita adalah kalifah (pemimpin) ciptaan -NYA.
Kita adalah gambar dan citra Sang Pencipta.
Kita adalah biji mata TUHAN.

Begitu banyak manusia tidak tahu, tidak percaya, lupa ataupun menghargai dirinya demikian rendah, sehingga berlaku sembarangan terhadap dirinya, orang lain dan hidupnya yang hanya sekali ini. Hidup yang hanya sekali...dan harus dipertanggungjawabkan !

So..sebelum kita memutuskan untuk ‘tidur’ dengan siapa, sebaiknya kita sadar betapa berharganya diri dan hidup kita ini, sebelum kita ‘tertidur’ selamanya.

(*)

Kosong Adalah Isi..Isi Adalah Kosong

oleh Made Teddy Artiana, S. Kom





Note : Tulisan ini kutulis ‘nyuri-nyuri waktu’ disela-sela tugas baruku..sebagai Chief Marketing Officer di PT. Kairos System & Technology. Karena memang sejak beberapa hari yang lalu aku kangeeeen banget nulis..hahahaha


Teringat kejadian unik..dalam masa-masa pemotretan di rumah Bob Sadino. Pengalaman yang sangat berkesan buat ku.

“Made, kamu kan pinter..”, kata Om Bob mengambil posisi duduk berhadapan dengan ku..
“Ah nggak Om..kata siapa..? Kawan-kawan malah bilang saya gelo !! Saya sendiri bilang diri saya : orang ganteng yang beruntung..!”, sahutku sambil tertawa.
Kolektor Jaguar itupun mengangguk-angguk ikut-ikut tertawa.
“Ok…sekarang kasih tau saya..gelas ini kosong atau isi..”
Om Bob meletakkan sebuah gelas diatas meja diantara kami.

Aku terdiam. Sejenak memperhatikan raut wajah laki-laki tua didepanku, kemudian beralih ke benda diatas meja itu. Cukup lama gelas itu membuat aku termenung. Sebenarnya aku bukan memikirkan pertanyaan Om Bob..tidak..tidak seluruhnya.

Aku teringat perumpamaan Peter F Drucker, Sang Dewa dalam dunia manajemen, Classic Drucker judul buku tersebut. Disana Drucker memberikan analogi serupa –dengan segelas air setengah isi- untuk menggambarkan kondisi statistik kesehatan di Amerika pada suatu masa.

Saat itu salah satu lembaga statistik terpercaya mengeluarkan sebuah laporan tentang bagaimana keadaan kesehatan di Amerika yang meningkat pesat, dari sebelumnya. Tapi herannya, seolah kontra produktif, laporan menggembirakan itu malah membuat kecemasan baru dikalangan warga Amerika Serikat. Mereka justru kuatir bagaimana mempertahankan kesehatan yang sedemikian itu. Unik memang. Namun begitu kalangan bisnis segera menanggapi positif kecemasan tersebut, sehingga bermunculanlah berbagai bisnis di area kesehatan, seperti : pusat gym, majalah kesehatan, produk alat-alat aerobik indoor, suplemen..dan lain sebagainya.

“Bagaimana Made..?”, ujar Om Bob mengagetkanku dari lamunan.
“Gelas ini kosong atau isi ?”
Aku kembali terdiam..sama sekali tidak mengalihkan perhatianku dari gelas itu.
“Theory of Relativity, Einstein”, jawabku perlahan.

Diluar dugaan.. Om Bob tertawa terbahak-bahak..
“Kali inipun kamu beruntung..”,ujarnya,”Jawabanmu benar !”
“And You know what Made…apapun sebuah kondisi, adalah relatif bagi setiap orang, ini diluar norma-norma agama dan moral ya... Orang bilang menjadi entrpreneur itu penuh resiko, saya bilang menjadi karyawanlah yang beresiko, orang bulang pake dasi keren, saya bilang pake dasi kaya kambing diiket, mereka bilang sekolah penting, saya bilang belajarlah yang penting..bukan sekolahnya, orang bilang Si A cantik, yang lain bilang jelek, sekelompok orang bilang ancaman, yang lain bilang itu peluang..dan sebagainya..dan sebagainya..”

Aku mendengarkan omongan Om Bob, sambil terus menatap gelas itu.

Kali ini aku teringat adik iparku. Seorang yang berkepribadian sangat unik. Bagi banyak orang ia adalah trouble maker, tapi bagi kami ia adalah Dewa Penyelamat. Bagi banyak orang dia orang gila, namun bagi kami ia sangat genius. Bagi banyak orang dia aneh, bagiku dia sangat peka terhadap mode fashion.

“Dan…Made…itu terjadi di seluruh bidang kehidupan..dikantor..di kampus..dimanapun juga. Itulah yang membuat kita terpenjara disuatu tempat…” (Om Bob meneruskan wejangan beliau, sementara aku sembari mendengarkannya dan sesekali menatap gelas setengah kosong setengah isi itu…sambil terus membayangkan adik iparku…)

Lucunya dia punya mantra ajaib yang sering kali kita ucapkan untuk memotivasi diri atau mungkin sekedar menghibur. Mantra dari kisah Kera Sakti dan Biksu Gurunya itu…Kosong adalah isi..Isi adalah kosong…Nah mantra itu lalu ditambahinya sebuah kalimat lagi…menjadi : Kosong adalah isi..isi adalah kosong…ISI DONG !!!

Hahahaha….!!

“Satuhal yang terpenting adalah…”, ujar Om Bob, “melatih otak kita melihat dengan cara berbeda…melihat segala sesuatu dari perspektif yang lain”.

Bob Sadino menutup wejangan beliau dengan sebuah senyum bijak, lalu beranjak keberanda belakang rumah beliau, meninggalkan ku seorang diri diruang tengah. (*)

Aku Percaya, Aku Beruntung..tung..tung !


by Made Teddy Artiana




Hampir disetiap pertemuan dengan seseorang yang ku anggap telah sukses, selalu saja ada godaaan untuk melontarkan pertanyaan berikut : “Tips nya apa nih Pak supaya sukses seperti Bapak ?” Hampir dapat dipastikan jawaban yang selalu saya terima adalah : “Bekerja keras.”

Sebagian orang tentu sependapat dengan ku, bahwa jawaban itu klise dan standard banget. Celakanya, walaupun berulang kali menerima jawaban yang itu-itu saja, rupanya aku tidak pernah kapok. Hingga suatu saat, dalam sebuah kesempatan aneh, aku berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan seorang sahabat yang notabene ada pengusaha yang sangat sukses. Tetapi lucunya ketika pertanyaan serupa aku lontarkan, agak mengejutkan karena jawaban yang kuperoleh sangat berbeda.

Menurut nya seorang yang berada pada golongan kaya, menengah atau miskin dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut.

80% hoki, 20% kerja keras adalah ciri orang kaya
50% hoki, 50% kerja keras adalah ciri orang menengah
20% hoki, 80% kerja keras adalah ciri orang miskin

Kita mulai dari bawah keatas.

Jadi rumusan itu dapat diartikan begini, jika kerja keras Anda itu 80% tetapi hanya menghasilkan sedikit, itu berarti hoki(baca : keberuntungan) Anda hanyalah 20% dan Anda sudah pasti berada pada lapisan ‘orang miskin’.

Nah jika, kerja dan hasil Anda sebading, dalam artian 50% kerja, 50% hoki, dapat dipastikan Anda berada pada lapisan kedua, alias kelas menengah.

Hal yang sama berlaku pada lapisan teratas atau golongan orang kaya. Anda akan segera berangkat kearah kaya, jika hoki Anda 80%, sehingga hanya dibutuhkan kerja keras sebanyak 20%.

Pertama kali ketika mendengar formula itu aku pribadi spontan membantah nya : “Kok bisa ?” Apalagi jika mendengar kata ‘hoki’ serta merta pikiranku terarah pada sesuatu yang bersifat ‘bawaan’ atau ‘anugerah’ atau ‘dari sononya’ alias nggak bisa dipaksain. Wong udah nggak hoki gitu loh…kira-kira demikian.

Sedari dulu memang aku agak alergi dengan satu kata itu. Tetapi jujur aku tidak punya nyali untuk berdebat dengan ‘orang kaya raya’ yang sekarang duduk di depan hidungku ini. Dia tidak hanya punya teori, tapi juga bukti. Ngedumel dalam hati adalah pelampisan terbaik disaat-saat seperti ini. Namun syukurlah, menurut sahabat ku tersebut, hoki itu bisa diciptakan. Bisa direkayasa. Oh ya ? Sure !

Langkah pertama, ketahui dulu apa sih yang mengundang keberuntungan itu.
Langkah kedua, berubah.
Langkah ketiga, membiasakannya.

Mendidik diri untuk terbiasa menerapkan hal itu hingga environment hoki itu terekam di alam bawah sadar kita dan pada saat diperlukan …jreeeeeeng!!!…otomatis nongol kepermukaan.

Orang kaya raya itu kemudian memberikan contoh yang sangat sederhana. Naik sepeda. Waktu baru belajar, minta ampun susahnya, babak belur, benjut dan sebagainya itu sudah biasa. Pernah bertemu orang yang baru belajar naik sepeda yang tidak pernah jatuh ? Rasanya tidak pernah. Tetapi segalanya menjadi berbeda, ketika kita sudah menguasai sepeda itu. Kini pertanyaanya adalah pernah bertemu orang yang telah mahir bersepeda dan berpikir keras setiap ingin mengayuh pedal nya ? Jawabannya persis sama. Rasanya tidak pernah.

Demikianlah juga dengan kebiasaan-kebiasaan yang ‘berkuasa’ untuk mengundang hoki. Lagi-lagi menurut sahabat ku itu, ia menganjurkan untuk senantiasa berlatih hingga ketrampilan mengundang hoki itu sungguh-sungguh terekam dan menjadi kebiasaan yang mendarah daging di alam bawah sadar kita. Ditanggung kerja keras Anda tersisa hanya 20%, karena yang 80% sudah di handle oleh binatang bernama ‘hoki’.

Bicara soal hoki, tiba-tiba saja aku teringat sebuah quote milik Thomas Lanier Williams III atau yang lebih dikenal dengan nama Tennessee Williams. Penulis sandiwara kelas dunia yang sangat tersohor disekitar tahun 1930-1983 dan telah banyak menerima penghargaan. Beliau sempat sedikit berceloteh tentang hoki. “Luck is believing you're lucky.”

Ini good news bagi ku. Karena menurut ku, kalimat ini dapat dijadikan starting point yang cukup bagus untuk mulai menarik hoki kepangkuan kita. Untuk mengundang hoki datang, sangat simple : mempercayai bahwa kita beruntung.

Satu hal lagi, ijinkan aku sedikit mengutip sebuah kalimat dari seorang yang paling bijaksana yang pernah hidup didunia ini, Raja Solaiman, namanya, dalam sebuah syair beliau pernah menulis : “Percuma saja bekerja keras mencari nafkah, bangun pagi-pagi dan tidur larut malam; sebab TUHAN menyediakannya bagi mereka yang dikasihi-Nya, sementara mereka sedang tidur. “

Menggelitik memang. Apakah segalanya ini terlalu disederhanakan ? Ataukah memang demikian sederhana, hanya saja karena campur tangan kita ini, manusia-manusia yang sering menganggap dirinya begitu pandai, akhirnya malah merumitkan segala yang sesuatu.
Yang sebenarnya sederhana, jadi ribet..hehehehe !! (*)

Bantal Guling Dalam Dekapan


Made Teddy Artiana
(fotografer, penulis, event organizer)




Kejadian ini terjadi beberapa hari yang lalu…lucu-lucu sedih.

“Pak”, sapa ku kepada salah satu kenek (pembantu tukang) yang sedang merenovasi rumah kami,”Bapak mau bantal guling gak ? ada dua nih gak kepake..”
“Gak”, jawab Pak Dono tanpa menoleh.
Oh mungkin dia gak denger jelas, bathinku.
“Woooi Pak !”, panggilku setengah berteriak,”Mau guling gak !??”
“Enggak Massss !! Matur nuwun sangeett”, jawabnya kali ini nyengir kuda.
“Sebenarnya, kalo Bapak mau..ambil aja..beneran gak perlu bayar..ambil aja Pak”, ujarku masih tak menyerah, “daripada…”
“Mass..Masssssss,,,wong rumah aja gak punya..kok malah dikasih guling ! Iki piyee..hahahahaha”, potongnya sambil menggaruk-garuk kepala dan tertawa.

Saat itu reaksiku adalah tertawa sekeras-kerasnya. Demi TUHAN aku tidak bermaksud menghinanya, ini hanya reaksi spontanitas. Aku pikir jawaban yang diberikan oleh Pak Dono, sangat menggelikan : “rumah aja gak punya kok malah dikasih bantal guling… !”

Sebelum akhirnya aku terdiam. Iya juga ya..mereka-mereka ini, tukang dan kuli bangunan, sudah puluhan tahun bekerja membangun rumah orang lain, sementara mereka sendiri tidur, tinggal…seadanya. Tapi toh mereka bisa bersenda gurau bersama teman-teman, tertawa dengan tanpa terlalu disusahkan oleh hal-hal yang belum mereka miliki.

Sementara kita, seringkali begitu meributkan dekorasi, warna cat tembok, model gorden dan segala macam tetek-bengek dalam rumah, sementara orang yang tidak memiliki rumah bisa terlihat demikian bahagia jauh lebih bahagia dari kita yang tinggal aman dirumah sendiri, berAC dan berkasur King Koil, berbantal Latex.

Tak jarang kita juga meributkan tentang makanan yang kurang ini itu, terlalu asin, terlalu pedas, kurang manis, terlalu gurih dan lain sebagainya..sampai-sampai kita lupa banyak diluar sana orang-orang berkeliaran mencari nasi untuk dimakan hari ini, sementara besok…belum tahu harus makan apa dan mencari dimana.

Atau yang paling sering terjadi, meributkan persaingan di kantor, membawa dampak negatif dari politiking kantor ke dalam rumah. Sehingga rumah yang tadinya ‘rumah’ pun, berubah jadi ‘kantor polisi’ !

Masih banyak yang lain. Mobil, anak, istri, tas baru, HP terbaru..dan lain sebagainya…
Yang lebih sering kita dudukkan sebagai ‘permasalahan’ dan bukan sebuah anugrah, walaupun kadang memiliki cacat disana-sini.

Ini mengingatkanku akan cerita Anthony Robbin, pada saat ia begitu mempermasalahkan sepatu barunya, hingga suatu saat ia bertemu dengan orang yang tidak memiliki kaki, sebatangpun !

Agaknya memang diperlukan ketrampilan tersendiri, untuk menikmati apa yang ada dan sama sekali tidak terganggu dengan apa yang belum ada.

Sama halnya diperlukan ‘kesaktian khusus’ untuk mencari dan menemukan sisi yang menyenangkan dari apa yang sudah kita miliki, dan tidak bertindak sebagai kritikus, yang terlanjur biasa ..sekali lagi..terlanjur biasa…untuk mengkritisi apapun yang ada disekitar kita, sampai-sampai kita lupa untuk menikmatinya. Bahkan lebih parah lagi, terjebak dalam perasaan yang tidak menyenangkan di segala waktu dan di segala tempat. Dan lebih gila dari itu..mengganggap keterjebakan itu sebagai sebuah kecerdasan !!

Hanya karena syarat-yarat kita untuk bahagia terlalu tinggi, terlalu strict, terlalu ngejlimet… dan susah dijangkau oleh apa yang sudah diberikan TUHAN dalam genggaman tangan ini (*)