Rabu, 29 September 2010

Eat, Pray & Love

oleh Made Teddy Artiana, S. Kom
fotografer, penulis & event organizer



Novel karya Elizabeth Gilbert ini memang terbilang sangat sukses. Bukan hanya karena telah bertengger diperingkat pertama bestseller New York Times selama beberapa minggu, namun juga karena versi film dari novel inipun telah dibuat,bahkan sudah beredar diberbagai negara, walaupun di Indonesia belum. Pemeran wanitanyapun tidak tanggung-tanggung, Julia Roberts ! Artis papan atas Holywood.

(Aku dan crew kami, yang kebetulan saat itu juga sedang ada pemotretan di Bali pun, menyempatkan diri untuk berkunjung ke sekitar Monkey Forest, saking inginnya hati ini menyaksikan proses shoting Mbak Julia.)

Satu hal yang paling membanggakan dari novel itu adalah terangkatnya nama Indonesia, atau lebih tepatnya Bali sebagai salah satu tempat terpenting dalam novel tersebut. Sebuah promosi pariwisata gratis tentunya. Kabarnya ini membuat nama Indonesia semakin dikenal di Amerika sana, sehingga Presiden SBY pernah secara terbuka menyampaikan kebanggaan hatinya dengan keberadaan film tersebut.

Terlepas dari itu semua -Eat, Pray & Love- bagiku pribadi berbicara tentang tiga kebutuhan yang tak tergoyahkan dari setiap manusia dalam kehidupan yaitu : makanan (fisik), TUHAN (spiritual) dan cinta (eksistensi). Kehilangan satu saja dari tiga hal itu tentunya berdampak serius bagi manusia siapapun dan dimanapun ia berada.

Bagi Sang Penulis, Eat, Pray & Love secara tidak langsung juga mengacu pada pengalaman pribadinya pada tiga negara yang letaknya terpisah dipenjuru dunia. Eat, di Italia, yang memang terlanjur terkenal dengan makanannya yang lezato. Lalu Pray, di India yang memang dikenal akan tradisi meditasi dan yoganya. Kemudian Love di Indonesia, nah ini yang sedikit unik.

Kalau boleh jujur, sebenarnya ada perasaan sedih dihati ku, terlebih ketika melihat keadaan nyata di sekitar bangsa ini. Apa Elizabeth tidak keliru ? Jangan-jangan Sang Penulis tidak paham benar apa yang sedang terjadi di negara ini. Adakah penemuan cinta di Indonesia ini hanya sindiran belaka ? Adakah cinta memang mudah ditemukan di Indonesia ? Apakah bangsa kita ini memang jadi tempat inspiratif untuk memahami arti cinta ?

Apakah cinta memang terlukiskan diwajah oknum politisi-politisi di Senayan sana yang terlalu sering begitu dekat dengan issue miliaran rupiah ? Dari mulai kantor yang baru, kolam renang baru, ribut-ribut kenaikan tunjangan, ongkos gertak sambal Century hingga kepada biaya perjalanan dinas ?

Atau mungkin cinta ada di rekening gendut para oknum pejabat yang konon bercokol di kejaksaan agung, polisi, pajak dan tempat-tempat strategis lain, yang kabarnya persekongkolannya lebih rapi dari kaum mafia ?

Jelas mereka semua sama. Setali tiga uang ! Tebal muka, tidak tahu malu dan sama sekali tidak tergetar hatinya dengan kemiskinan rakyat. Mereka-mereka yang mengaku ber-TUHAN tapi dalam setiap gerak nafas hidupnya menista nama TUHAN ! Mereka-mereka yang merasa akan masuk surga, hanya dengan menyuap TUHAN dengan sedekah uang haram.

Atau rasa cinta di antara para calon presiden yang tidak terpilih dengan yang terpilih ? Sehingga yang tidak terpilih minimal akan menjadi opsisi yang jujur atau teman sekerja yang tulus.

Atau cinta juga nyata pada perang terbuka antara petugas dan teroris yang tak kunjung usai ? yang membuat tak terbilang air mata dari ibu, ayah, istri dan anak yang tumpah ? Dimana setiap tetesan yang terjatuh, mengeraskan nurani dengan dendam kesumat. Lingkaran setan yang tak kunjung usai.

Atau pada banjir, macet dan seluruh janji-janji yang dianggap gombal yang pada akhirnya menimbulkan umpatan caci maki (atau bahkan doa yang buruk) warga Jakarta terhadap Sang Pejabat yang sampai saat ini masih berkeras mengaku ‘ahli’ ?

Atau sekian tak terhitungnya jumlah demo –baik bayaran atau tidak- yang begitu membiasa menghiasi Jakarta bak pawai tujuh belasan ?

Atau diantara peperangan aparat dengan ratusan orang penjaga makam yang berujung pada tindakan sadis pembunuhan dan pembakaran ?

Adakah cinta di Bekasi sana, saat dua golongan agama yang sama-sama merasa paling benar, paling suci, paling berhak untuk masuk surga, paling mewakili TUHAN namun gagal membereskan persoalan mereka dengan cara surgawi ?

Atau mungkin diantara tawuran pelajar dengan pelajar lain dijalanan, mahasiswa yang merusak kampusnya sendiri ?

Sungguh daftar panjang yang melelahkan hati.

Berandai-andai dengan semua fakta diatas, jika Saja Penulis buku Eat, Pray & Love menyempatkan diri lebih lama lagi berada dinegeriku, besar kemungkinan ia mengungsi mencari negara lain yang lebih masuk akal untuk menemukan cintanya disana. Karena pemilihan Indonesia, sepertinya sangat kurang tepat. Karena jangankan Elizabeth, kami –yang sudah lahir, tinggal dan menua di negeri ini pun- terlanjur tergoda dan menganggap cinta sebagai komoditas sangat mahal di negera kami sendiri. Sama sekali bukan hal yang begitu mudah ditangkap baik dengan mata terbelalak, apalagi dengan mata tertutup dan sekali comot. Semoga saja aku keliru, dan Elizabeth Gilbert yang benar.

Karena itu ada baiknya kita mulai berdoa, mungkin bukan dengan kebencian dan rasa dendam ataupun tawarnya rasa pesimis akan keadaan di negeri ini. Semoga TUHAN masih menyisakan dan akan terus membangkitkan orang-orang jujur dan tulus hati di negeri ini. Sebuah generasi yang hatinya dipenuhi rasa takut akan nama-NYA. Mereka yang mengasihi bangsa, negara dan rakyatnya. Yang bersungguh-sungguh mencintai istri, suami, anak, rumah tangga, orang tua, dan sesamanya. Orang baik yang kehadirannya membaikkan keadaan. Wakil-wakil TUHAN yang menyebarkan cinta dan menjadi rahmat. Sama sekali bukan kebengisan, kearoganan dan kemunafikan, yang sebenarnya jelas-jelas adalah ciri khas setan.

Sehingga suatu saat nanti, setiap jengkal tanah di Indonesia Raya, menjadi tempat inpiratif yang sungguh-sungguh layak dan nyata bagi siapapun untuk bertemu dengan cinta. Yang berarti pula, bertemu dengan TUHAN, Sang Raja. Karena dimana ada cinta yang tulus, disana IA hadir dan bertahta (*)


Senin, 27 September 2010

“Kuperintahkan Kau Untuk Berhenti Berpikir…!”

oleh Made Teddy Artiana
penulis & fotografer

Sebagian orang ketika mendengar atau membaca kalimat diatas langsung berkomentar “Seperti pernah dengar, dimana ya ?”. Sekedar membantu ingatan Anda, saya akan lengkapi kalimat diatas.

“Kuperintahkan kau untuk berhenti berpikir ! Sebab kalau kau berpikir, aku ikut-ikutan berpikirrrr !!”


Bagi mereka yang masih belum dapat mengingat, berikut clue tambahannya. Perintah aneh bin menggelikan diatas diteriakkan oleh seorang jendral –dengan aksen Batak yang kental- kepada bawahannya, lantaran anak buah nya itu saking terbiasa berpikir strategis, sampai-sampai kebiasaannya itu mengusik Sang Jendral.

Anda benar ! Bawahan itu bernama Lukman, sementara Sang Jendral adalah Bang Naga alias Nagabonar.

Adegan unik dalam film klasik Nagabonar ini tidak saja lucu, tapi cukup konyol jika sungguh-sungguh dipraktekkan. Bayangkan : manusia tanpa pikiran apapun diotaknya !

Namun tentunya bukan itu yang dimaksud oleh kalimat yang sebenarnya sarat pesan mendalam tersebut. Bagiku pribadi, yang ingin disampaikan adalah betapa penting kendali pada sebuah kebiasaan yang kadang sangat membantu namun, kadang justru menjerumuskan. Kebiasaan itu adalah : ber-pi-kir.

Serupa tapi tak sama dengan adegan diatas. Andri -bukan nama sebenarnya- adalah salah seorang team leader di wedding organizer yang dikomandoi Wida, istriku, pernah bernasib sama dengan Lukman. Hanya saja tentu bukan Nagabonar yang menyemprotnya, melainkan aku. Betapa tidak, Andri sebenarnya adalah anak muda yag cerdas, banyak sekali hal-hal yang tidak terpikirkan oleh kami namun dapat dideskripsikan dengan lancar olehnya. Parahnya, hanya 20% saja ide yang bernada positif, yang 80% sisanya adalah kecemasan-kecemasan yang bisa saja terjadi dilapangan. “Kalau begini bagaimana ?” atau “Kalau misalnya terjadi anu ?” dan lain sebagainya. Andri spesialis dalam hal itu. Sebenarnya dalam beberapa hal, “keahlian” Andri sangat berguna, karena bagaimanapun antisipasi tentunya sangat dibutuhkan. Namun demikian ketika bersentuhan dengan pisau analistis Andri, sebuah ide se-briliant apapun dalam beberapa menit segera berubah jadi gagasan tolol yang mustahil dilaksanakan. Ini lantaran ide briliant tadi telah dihujani oleh puluhan keruwetan yang telah beranak pinak dikepala Andri. Ketrampilan unik yang mirip dengan pedang mata dua miliknya ini, sungguh-sungguh harus dikendalikan !

Dulu, ketika berkesempatan menggarap proyek buku yang ditulis Bob Sadino, kami sempat berbincang-bincang serius tentang mengapa “orang bodoh” lebih cepat sukses dibanding “orang pandai”. Waktu itu Om Bob “Goblok” Sadino sempat berkelakar : “Orang-orang pintar itu, kadang karena terlalu terbiasa mikir, akhirnya nggak jalan-jalan. Tapi orang bodoh, karena memang sedikit yang dipikirkan ya segera memulai saja. Gimana nati aja deh, kata mereka. Akhirnya orang-orang bodoh itupun sukses. Karena persiapan yang sejati bukan saja dibangun diawal, tetapi justru persiapan sejati itu dibangun ketika kita berani melangkah”

Beberapa orang teman pengusaha dan top manager yang begitu sukses, memberikan tips sederhana berikut untuk kehidupan yang lebih berhasil, yaitu : kendalikan pikiran kita sehingga tetap sederhana, terbuka dan positif. (Ini tentunya tidak sama dengan pengerdilan semua kreativitas yang kita miliki.)

Sepintas ide itu tampak begitu sederhana, cenderung terlalu menyederhanakan hidup yang sseringkali kita hujani dengan kata-kata : “sangat kompleksss” ini. Akan tetapi dalam prakteknya, ternyata tips itu memerlukan derajat ketekunan yang cukup tinggi, sebelum semuanya menjadi kebiasaan yang mendarah daging diri kita. Dan ketika ketrampilan berpikir : sederhana, terbuka dan positif itu mulai Anda kuasai (walaupun belum 100%), dampak positifnya segera dapat dirasakan pada kehidupan kita.

Rupanya jika kita memberikan keleluasaan pada pikiran kita, bukan mustahil maka pikiran itu akan mengaduk-aduk Anda, persis ketika seseorang sedang mencari sebatang sendok yang terjatuh dalam kuali besar sop brenebun. Ia tidak akan berhenti memunculkan keraguan, ketakutan, pikiran jorok, dan lain sebagainya sampai Anda tertidur mumet karena kelelahan. Dan tak jarang mengigil ketakutan membayangkan hal-hal buruk yang terjadi. Intinya : menguras seluruh optimisme yang seringkali memang masih berwujud mimpi yang tentunya tampak belum logis.

Celakanya ketika kebiasaan itu tidak segera kita kendalikan, ia akan berubah menjadi kekuatan raksasa yang sekali sentil, dengan mudah akan meng-KO-kan kita. Mirip seperti ideologi teroris yang tidak segera dipadamkan, kemudian tiba-tiba berubah menjadi bahaya yang agresif yang tidak lagi sekedar mengancam, namun lebih dari itu, berani keluar dari persembunyian, dan terang-terangan menyerang !

Jadi sesegera mungkin agaknya kita harus masuk kearena, bertarung, habis-habisan mengendalikan kebiasaan berpikir kita, mumpung mereka masih imut-imut. Karena percaya atau tidak, seperti perkataan banyak orang bijak : “Pikiran, seperti halnya dengan uang, adalah tuan yang buruk, namun hamba yang baik”. Dengan demikian orang bijak bukan karena banyak, rumit dan kompleks pikiran yang ia miliki, tetapi justru orang bijak adalah mereka yang memiliki kendali penuh atas pikiran mereka. Sehingga mereka mampu mengarahkan pikiran mereka hanya kepada hal-hal yang penting, baik dan berguna.

Menutup artikel yang terasa cukup panjang ini, ada sebuah anekdot yang saya percaya sudah pernah Anda ketahui sebelumnya.

Ketika astronout Amerika ingin pergi ke bulan mereka mendapat sebuah kesulitan, karena pena (pulpen) yang biasa mereka pakai ternyata tidak berfungsi di ruang hampa. Maka NASA melakukan riset beberapa tahun untuk menciptakan tinta hi-tech yang kebal terhadap kondisi ruang hampa. Mereka menghitung sedemikian rupa intensitas, kepatan dan berat jenis tinta tersebut sehingga dimanapun –bahkan diruang hampa- tinta itu tetap masih bisa digunakan.Namun berbeda dngan astronout Rusia, mengetahui tinta umum tidak beroperasi di bulan sana, mereka membawa pensil ! (*)

Selasa, 21 September 2010

Plisss, Jangan ‘Lebay’ dengan Otak Anda !

by Made Teddy Artiana, S. Kom
fotografer & penulis



Sebagai penggemar ilmu pengetahuan tentang potensi manusia, terus terang aku sangat senang mempelajari berbagai topik bahasan yang mencoba untuk menggali potensi yang ada pada diri puncak ciptaan TUHAN itu. Waktu-waktu luang selalu aku isi dengan membaca buku bertemakan hal tersebut.

Belakangan topik yang paling hangat yang muncul kepermukaan adalah tentang otak manusia. Otak kiri, kanan lalu yang sekarang lagi ngetop-ngetopnya adalah otak tengah. Seperti cendawan dimusin banjir, “iklan” aktivasi otak tengah seolah memenuhi ruang-ruang kita. Entah latah atau apa, gejala otak tengah ini berkembang sedemikian rupa sehingga aku pribadi merasa, segalanya sudah mulai menjurus kearah lebay (berlebih-lebihan). Bak bus Trans Jakarta yang karena jalur busway-nya diserebot bajay, lalu ngetril dijalur Kereta Api Listrik. Dengan kata lain : melenceng jauuuuuh banget bo’ !

Fenomena-fenomena lebay itupun muncul begitu jelas disekitar kita.

Beberapa orang menjadi demikian resah sekali untuk mengaktivasi otak tengah mereka, dan orang-orang ini saking resahnya, merasa tanpa aktivasi itu hidup mereka belumlah maksimal. Banyak orang tua seolah terhipnotis, dan mencari short cut mengaktivasi otak tengah anak mereka supaya IQ mereka nambah sehingga lebih mudah menerima pelajaran disekolah (padahal kemungkinan besar yang dibutuhkan oleh anak-anak mereka adalah “perhatian” orang tua). Ada juga orang yang mengaku telah mengalami “aktivasi” disuatu tempat, namun karena kurang ngefek, lalu mengunjungi yang lain, untuk minta “diaktivasi ulang” lalu tidak puas lagi, dan minta diaktivasi lagi untuk kesekian kali. Bahkan ada –Anda boleh percaya atau tidak- seorang oknum yang mengaku expert otak tengah yang bertingkah lebih mirip -mohon maaf tidak semua tentunya- seorang dukun dibanding seorang ilmuwan.

T e r l a l u !!! (kata Rhoma Irama)

Ndilalah (untungnya) aku itu ndak sendirian. Beberapa hari yang lalu di Koran Sindo, aku membaca uraian dari Dr. Sarlito Wirawan, Guru Besar Psikologi UI, yang ternyata juga mengalami kegerahan yang sama seperti yang aku rasakan. Beliau menyatakan bahwa aktivasi otak tengah sudah terlalu jauh disalah tafsirkan oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan materi. (untuk lebih lengkapnya silakan baca sendiri  Koran Seputar Indonesia tanggal 19 September 2010)

Lalu apakah faktor otak –entah kiri, kanan, atau tengah- memang punya pengaruh begitu dominan terhadap hidup manusia ? Sehingga memang harus diekploitasi sedemikian rupa hanya karena para ahli mengatakan manusia pada umumnya baru menggunakan sekitar 6% dari kemampuan otak mereka ? Apakah memang benar untuk sukses kita harus –tidak ada jalan lain- habis-habisan memeras otak kiri, mengembangkan otak kanan dan mengaktivasi otak tengah sedemikian rupa ? Apakah benar jika kita bertambah jenius atau pandai atau cerdas atau apalah namanya, membuat hidup kita lebih baik, lebih bahagia, lebih sukses ? Apakah itu modal satu-satunya dan yang terutama yang Sang Pencipta berikan bagi kita untuk mengarungi kehidupan ? Aku pribadi tidak terlalu percaya.

Maksudnya begini, menjadi pandai atau jenius, boleh-boleh saja. Bagusssss ! Tetapi nggak harus !!

Jika Anda ragu, coba lakukan research mendalam pada seluruh kitab suci Anda, atau luangkan waktu untuk menginterview para tokoh atau guru agama atau –yang ini agak susah- jika kebetulan Anda memiliki akses kesana, cobalah bertanya kepada pengusaha-pengusaha sukses : Apakah benar yang menjadi modal utama mereka adalah otak mereka. Apakah benar bahwa hidup manusia itu sedemikian dominan ditentukan semata-mata oleh otak mereka ?

Saya berani bertaruh Anda akan menemukan bahwa hal terpenting adalah : hati. Hati yang dipelihara dengan sebaik-baiknya.

Aku jadi teringat seorang paling bijak dan berhikmat yang pernah ada dimuka bumi ini. Seorang raja yang juga diakui sebagai nabi. Raja Solaiman (Salomo) namanya, menyimpulkan resep untuk sukses dalam kehidupan adalah dengan menjaga hati, sehingga beliau bersabda : “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan karena dari sanalah terpancar kehidupan”.

Sungguh unik, jika kita perhatikan beliau sama sekali tidak memasukkan kemampuan otak pada tips beliau diatas. Berita buruk bagi mereka yang begitu mendewakan otak mereka. Ada apa gerangan dengan hati ?

Mungkin benar manusia baru hanya menggunakan 1% dari seluruh kapasitas otak mereka, tetapi tidak 100% benar ketika yang 1% itu bertambah jadi 10% lalu otomatis hidup mereka bertambah sukses.

Tetapi jika kita men-aktivasi hati kita lebih banyak dalam kehidupan. Yang mana itu juga berarti membersihkannya dari segala yang tidak baik, maka dijamin kita akan bertambah sehat, bertambah bahagia, hal-hal yang baik (termasuk jodoh, rejeki termasuk keberuntungan tentunya) akan tertarik dengan sendirinya.

Karena hati bukan hanya pelita kehidupan, tetapi hati juga adalah jalan menuju sorga. TUHAN yang menjamin, mengenai biaya “aktivasi” hati..he..he..he..gretong alias gratis ! Karena itulah aku pribadi tengah dalam proses mendisiplin diri untuk selalu mengaktivassi dan menjaga hati ini dengan segala kewaspadaan.

Jagalah hati, jangan kau nodai
Jagalah hati, cahaya Ilahi.
Jagalah hati, jangan kau kotori
Jagalah hati, lentera hidup ini.

(*)

Minggu, 19 September 2010

Antara Keong Racun, Monyet dan Inception-nya Leonardo DiCaprio


oleh Made Teddy Artiana, S. Kom
fotografer & penulis



“Dasar kau keong racun, baru kenal eh ngajak tidur !”

Aku berani bertaruh bahwa 9 dari 10 orang Indonesia pasti mengenal akrab penggalan syair diatas. Dubbing lagu Keong Racun via youtube oleh Shinta dan Jojo itu memang luar biasa fenomenal. Tersebar - hingga keluar negeri- lewat internet, handphone, BB bahkan televisi. Naif, konyol, tapi sangat menghibur. Keduanya, disadari atau tidak, telah membuktikan sedikitnya dua hal. Pertama, keperkasaan internet dan segala kerabatnya yang akan mempermudah seseorang untuk eksist (baca: ngetop) di abad ini. Kedua, keberhasilan Shinta dan Jojo membuat siapapun akan bermimpi bernasib lucky seperti mereka berdua. Sejauh ini aku pribadi menganggap semua itu sungguh merupakan fenomena unik, yang merupakan perpaduan antara : iseng, keperkasaan dunia maya dan lagu nyentrik yang sangat menghibur.

Sampai ketika aku mendengar sekelompok anak kecil (antara 8-10 tahun), sambil tertawa cekikikan, menyanyikan syair diatas berulang-ulang. “… baru kenal eh ngajak tidur !”.
Lucu memang, untuk kita yang telah dewasa dan menikah. Tetapi untuk mereka, anak-anak itu. Apakah pengulangan-pengulangan itu tidak kemudian tertanam di bawah sadar mereka, makin kuat, lalu … entah mengendap jadi apa disana.

Yang jelas, ketika harus berhadapan dengan cermin norma agama dan susila, kalimat diatas –untuk anak-anak kita- sama sekali tidak lucu lagi. Bahkan ia kemudian menjelma menjadi virus nakal esek-esek yang mau tidak mau mengusik keimanan.

Aku jadi teringat sebuah dongeng tentang monyet dan angin. Suatu ketika terjadilah taruhan antara monyet dan angin. Monyet berkata sesumbar bahwa angin tidak akan sanggup menjatuhkan dirinya dari atas pohon. Karena merasa ditantang sekaligus penasaran, anginpun setuju. Tanpa banyak cakap angin segera mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk meniup monyet agar segera terhempas ketanah. Tapi aneh, semakin kuat angin bertiup, semakin erat pula monyet berpegangan pada pohon. Angin kelelahan, sejauh ini ia gagal. Sedangkan lawannya, Si Monyet berteriak kegirangan sambil berjingkrak-jingkrak mengejek. Untunglah angin tidak menyerah. Ia memutuskan untuk mengubah strategi penyerangan. Jika tadi ia menggunakan ‘kekerasan’ kini anginpun bertiup sepoi-sepoi basa. Karena merasa akan segera memenangkan pertandingan, monyetpun lengah. Ia tidak menyadari penyerangan diam-diam yang dilakukan oleh lawan. Tidak lama kemudian, kelopak matanya mulai terasa berat. Rupanya angin sepoi-sepoi ini telah membuat ia mengantuk. Beberapa saat berlalu, hingga rasa kantuk tak tertahan lagi olehnya, dan akhirnya…gubraaakkk !!! Si Monyetpun tersungkur, jatuh ditanah.

Beberapa pengaruh asusila juga berhasil menjatuhkan kita, persis dengan cara yang sama dengan yang dilakukan angin terhadap monyet. Narkoba datang lewat ‘pergaulan jetset’ masa kini. Perlahan-lahan, lalu mulai diterima sebagai kewajaran. Perselingkuhan semakin berkembang-biak lewat jargon-jargon unik, Temen Tapi 'Keliwat' Mesra, misalnya. Perceraian, hampir dianggap sebagai ‘takdir dari TUHAN’ yang dipublikasi lewat berbagai pemberitaan kawin cerai yang dikemas dalam ‘acara hiburan’. Pornography dan perjinahan menyebar luas keseluruh handphone tua-muda atas nama ‘penasaran’ karena kebetulan pemainnya adalah artis lokal yang sangat ngetop. Dan lain-lain sebagainya.

Seperti halnya ide-ide yang positif, ide-ide bejat seperti ini juga menyebar laksana virus. Yang diletakkan dibawah sadar seseorang dengan tanpa disadari oleh yang bersangkutan. Para pelakunya seolah mengambil peranan Cobb (Leonardo DiCaprio) dalam film Inception karya Christopher Nolan yaitu menyuntikkan sebuah gagasan di alam bawah sadar seseorang lewat mimpi.

Sebagai pekerja seni, aku sama sekali tidak antipati terhadap lagu Keong Racun. Bagiku pribadi lagu sederhana ini sangat jenius. Sejujurnya, aku pribadi termasuk penggemar lagu itu ! Penciptanya dengan luar biasa kreatif berhasil mengangkat kenyataan yang terjadi disebagian pergaulan masyarakat dan mengemasnya dengan kata dan irama yang unik, sehingga sekali diperdengarkan lagu itu akan nyantol laksana lintah dan sulit dilepaskan dari pikiran kita. Penciptanya tentu tidak bermasuk buruk dengar syair-syair yang ia ciptakan. Wong semua itu adalah sebuah kenyataan !

Hanya saja permasalahan datang ketika anak-anak kita, dengan riang gembira ikut-ikutan menyanyikan lagu tersebut dan kita sebagai orang tuanya merasa tidak terlalu perlu untuk menggubris ‘angin sepoi-sepoi basa’ itu.

Kemudian siapa yang salah ? Entahlah. Mungkin memang dunia ini telah begitu tua, sehingga mata hati kita sudah dibuat terlalu rabun untuk membedakan mana daerah putih dan mana daerah hitam. Semua terlihat begitu abu-abu.

Yang jelas segalanya akan segera berpulang kepada diri kita masing-masing. Karena siapapun akan mengakui, adalah sebuah pekerjaan yang mustahil untuk membendung seluruh pengaruh (klise) globalisasi.

Seperti halnya film Inception, dimana lawan Leonardo DiCaprio, yakni Robert Fischer (yang diperankan oleh Cillian Murphy) adalah orang yang begitu terlatih untuk selalu alert menjaga alam bawah sadarnya, semakin hari rupanya setiap orang semakin dituntut untuk memiliki penjaga alam bawah sadarnya, sehingga tidak mudah tercemar pengaruh buruk apapun. Pengaruh yang akan datang lewat ‘mimpi’ dan ‘angin sepoi-sepoi basa’ yang pasti –cepat atau lambat- membuat kita sama seperti monyet yang akhirnya jatuh terjerembab ditanah. Dan sialnya, tugas menjaga bawah sadar kita –supaya tidak tercemar- sungguh bukan perkara mudah. Ada baiknya kita semua sebisa mungkin segera siuman lalu sadar sesadar-sadarnya (*)

Selasa, 14 September 2010

Tiga Orang Kuli Bangunan

ditulis oleh Made Teddy Artiana, S. Kom
fotografer & penulis


Ini adalah sebuah kisah klasik tentang tiga orang kuli bangunan. Kisah sederhana namun inspiratif. Entah darimana kisah ini berasal, yang jelas kisah ini telah melanglang buana begitu jauh. Dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Menyeberangi lautan, tiba dibenua yang satu lalu tersebar disana kemudian berangkat ke benua dan bahasa yang lain.

Suatu kali disiang yang terik, disaat ketiganya tengah sibuk bekerja, melintaslah seorang tua.

"Apa yang sedang kau kerjakan ?", tanya orang tua itu kepada salah seorang dari antara mereka.
Pekerja bangunan yang pertama tanpa menoleh sedikitpun, menjawab orang tua itu dengan ketus. "Hei orang tua, apakah matamu sudah terlalu rabun untuk melihat. Yang aku kerjakan dibawah terik matahari ini adalah pekerjaan seorang kuli biasa !!".

Orang tua itupun tersenyum, lalu beralih kepada pekerja bangunan yang kedua. "Wahai pemuda, apakah gerangan yang sebenarnya kalian kerjakan ?".

Pekerja bangunan yang kedua itupun menoleh. Wajahnya meskipun ramah tampak sedikit ragu.

"Aku tidak tahu pasti, tetapi kata orang, kami sedang membuat sebuah rumah Pak", jawabnya lalu meneruskan pekerjaannya kembali.

Masih belum puas dengan jawaban pekerja yang kedua, orang tua itupun menghampiri pekerja yang ketiga, lalu menanyakan hal yang sama kepadanya. Maka pekerja yang ketiga pun tersenyum lebar, lalu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu dengan wajah berseri-seri berkata.

"Bapak, kami sedang membuat sebuah istana indah yang luar biasa Pak ! Mungkin kini bentuknya belum jelas, bahkan diriku sendiripun tidak tahu seperti apa gerangan bentuk istana ini ketika telah berdiri nanti. Tetapi aku yakin, ketika selesai, istana ini akan tampak sangat megah, dan semua orang yang melihatnya akan berdecak kagum. Jika engkau ingin tahu apa yang kukerjakan, itulah yang aku kerjakan Pak !", jelas pemuda itu dengan berapi-api.

Mendengar jawaban pekerja bangunan yang ketiga, orang tua itupun sangat terharu, rupanya orang tua ini adalah pemilik istana yang sedang dikerjakan oleh ketiga pekerja bangunan itu. (*)

Hal yang sama rupanya berlaku pula dalam hidup ini.

Sebagian besar orang tidak pernah tahu untuk apa mereka dilahirkan kedunia. Mungkin karena telah begitu disibukkan oleh segala bentuk “perjuangan”, merasa tidak terlalu perduli dengannya. Bisa hidup saja sudah syukur !

Sebagian lagi, yang biasanya adalah tipe “pengekor” atau “me too” yaitu orang-orang yang punya pandangan yang samar-samar tentang keberadaan mereka dalam kehidupan. Sepertinya begini…kayanya begitu…kata motivator sih begono..tapi pastinya ? Don’t have idea !!

Namun sisanya : golongan terakhir -biasanya hanya segelintir orang- menemukan “visi” atau “jati diri” mereka didunia ini. Mereka adalah orang-orang yang tidak hanya kebetulan lahir, sekedar hidup, bertahan agar tetap hidup, tua karena memang harus tua, kawin lagi jika ada kesempatan, lalu berharap mati dan masuk surga, namun adalah orang-orang yang hidup dalam arti yang sebenar-benarnya.

Mereka sering dianggap sebagai “perpanjangan tangan TUHAN”. Orang-orang yang tidak hanya berjalan dalam tuntunan tangan Yang Maha Kuasa, tetapi juga mengenal benar kemana arah perjalanan itu, dan tentunya bergaul karib dengan DIA, Sang Penuntun perjalanan mereka.

Semoga setelah kembalinya ke fitrah, membuat Anda dan saya tidak hanya menjadi bersih dan suci, namun lebih dari itu, mengetahui untuk apa kita hadir didunia ini. Sehingga tugas maha luas dan abstrak “menjadi rahmat bagi semesta” dapat kita konkritkan dan tunaikan sebelum selesainya sisa waktu yang kita miliki.
Selamat Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Bathin. (selesai)